SURABAYA, Tugujatim.id – Banyak hal yang dapat dibahas dari “sandwich generation“. Situasi menjalankan kewajiban hidup untuk mencukupi kebutuhan generasi di atas dan generasi di bawah. Di samping itu, subjek yang terjepit dalam situasi demikian rentan tertekan, depresi, frustrasi, dan “burnout“. Namun, dalam perspektif agama, justru “sandwich generation” merupakan bentuk mengabdi pada orang tua, hal yang wajib dijalankan.
Tugu Jatim berupaya mengulik pembahasan “sandwich generation” dalam perspektif psikologi agama dan psikologi Islam hingga pemaknaan “sandwich generation” sebagai bentuk kewajiban anak untuk mengabdi pada orang tua.
Lebih jauh, Dekan Fakultas Psikologi dan Kesehatan (FPK) UIN Sunan Ampel Surabaya (UINSA) Dr dr Hj Siti Nur Asiyah MAg menegaskan, dengan ikhtiar lahir-batin dan menjalin komunikasi sehat dengan keluarga, situasi “sandwich generation” dapat diatasi dengan baik.
Atasi “Sandwich Generation” dengan Ikhtiar, Tawakal, dan Persiapkan Masa Depan dengan Baik
“Cara meredam rantai (sandwich generation, red) adalah dengan memaksimalkan ikhtiar lahir dan batin (solusi perspektif psikologi agama dan psikologi Islam, red) untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik, selebihnya tawakal kepada Allah,” terangnya pada Tugu Jatim, Sabtu (26/06/2021).
“Bila sudah telanjur terjadi (sandwich generation, red), maka perlu ada komunikasi yang intens kepada semua anggota keluarga, baik orang tua, istri atau suami, anak untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman, sambil terus berikhtiar untuk bisa mengatasi persoalan dengan baik,” imbuhnya.
Di sisi lain, Dr Asiyah menegaskan, sandwich generation diistilahkan sebagai situasi “antara”. Di satu sisi, sambungnya, individu harus menanggung kewajiban atas rumah tangganya dan sisi lain memenuhi kehidupan orang tuanya.
“Sandwich generation adalah posisi ‘antara’, di satu sisi individu harus menanggung kewajiban atas keluarga barunya, di sisi lain dia juga harus menanggung kewajiban atas kehidupan orang tua (keluarga yang ada di generasi atasnya, red),” terangnya.
“Sandwich Generation” Itu Dinamika Alami dalam Hidup
Dr Asiyah menyebut, posisi “sandwich generation” merupakan hal alamiah yang terjadi dalam dinamika kehidupan, memang perlu disiapkan oleh sebagian orang. Tapi, Dr Asiyah melanjutkan, ini justru dianggap sebagai beban oleh sebagian orang.
“Faktor penyebabnya, bisa karena kondisi orang tua (atau keluarga lain, red) yang memang tidak terlalu beruntung dalam banyak hal. Meski mungkin sudah berikhtiar dengan maksimal. Kondisi keluarga yang tidak optimal dalam mempersiapkan masa depannya, baik masa depan orang tua maupun anaknya,” sambungnya.
Anggap “Sandwich Generation” Bukan Beban, Dampak Psikologis Kecil
Berikutnya, Dr Asiyah juga menyoroti soal dampak psikologis dari generasi ini, yakni adanya keputusasaan, stres, konflik interpersonal antar anggota, terlebih krisis akidah. Hal itu, Dr Asiyah menjelaskan, terjadi karena sebagian orang menganggap “sandwich generation” menjadi beban. Padahal, tidak selalu demikian.
“Dampak psikologis yang bisa terjadi adalah keputusasaan, stres, konflik interpersonal antar anggota keluarga dan yang lebih ekstrem lagi adalah krisis akidah,yang berakibat pada goyahnya keimanan seseorang,” tegasnya.
“Sandwich Generation” Bentuk Berbakti pada Kedua Orang Tua
Kemudian, pengajar dan psikolog dari FPK UIN Sunan Ampel Surabaya Nur Eko Kiswanto MPsi Psikolog memberikan tanggapan ringkasnya bahwa “sandwich generation” merupakan bentuk berbakti pada orang tua.
“Tapi, kalau saya boleh menanggapi. ‘Sandwich generation’ itu merupakan bentuk berbakti kepada orang tua. Jadi, buat saya pribadi, tidak masalah,” ujarnya.