MALANG, Tugujatim.id – Aksi penolakan revisi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang meminta jabatan kepala desa (kades) dari 6 tahun menjadi 9 tahun tanpa periodisasi, muncul dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Malang. Sebelumnya, ribuan kades se-Indonesia melakukan aksi damai menuntut revisi UU itu di depan gedung DPR RI, Selasa (17/1/2023). Hingga akhirnya GMNI Malang mengetahui DPR RI menyanggupi akan merevisi undang-undang itu.
Merespons hal itu, Ketua DPC GMNI Malang Donny Maulana menyampaikan menolak adanya wacana penambahan masa jabatan kades.
“Arogan dan tidak berbasis pada urgensi. Pemerintah harus bisa membedakan mana kepentingan pribadi kades dan mana kebutuhan masyarakat sebelum menyetujui wacana tersebut. Ini akan melanggengkan praktik dinasti, korup, dan semakin memperlebar potensi penyalahgunaan wewenang. Jika wacana ini tetap diamini, GMNI Malang siap menginisiasi adanya parlemen jalanan,” ujarnya pada Jumat (20/01/2022).
Dia mengatakan, tidak ada urgensi yang sangat mendesak dari usulan tersebut. Selain itu, agar jarak kontestasi pilkades lebih lama, tidak menguras energi sosial warga desa akibat dampak pembelahan sosial karena pilkades, serta ada jangka waktu lebih untuk kepala desa terpilih dalam merealisasikan janji-janji kampanye mereka.
“Argumentasi tersebut tentunya sangat bias dengan cita-cita demokrasi di Indonesia,” katanya.
Menurut dia, indikator efektivitas realisasi program hanya dinilai sempit dari jangka waktu masa jabatan. Dia melanjutkan, tentu ini kerangka berpikir yang salah dan justru berpotensi melahirkan problematika yang lain seperti terbentuknya pola politik dinasti di pemerintahan desa, terhambatnya regenerasi kepemimpinan, degradasi praktik demokrasi di desa, hingga kecenderungan penyalahgunaan wewenang yang lain (seperti tindak pidana korupsi).
“Ini berpotensi adanya penyelewengan wewenang nantinya,” kata Donny.
Berdasarkan hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan kasus penindakan korupsi paling banyak terjadi di sektor anggaran dana desa, yakni 154 kasus pada 2021 dengan potensi kerugian negara sebesar Rp233 miliar. Korupsi anggaran dana desa bahkan cenderung meningkat sejak 2015.
Kondisi tersebut pun sejalan dengan temuan ICW terkait lembaga negara yang paling banyak terjerat kasus korupsi. ICW menemukan, pemerintah desa adalah lembaga dengan kasus korupsi terbanyak pada 2021.
ICW merekomendasikan, pengawas pada sektor anggaran desa perlu diawasi secara ketat mengingat pada 2022 anggaran desa yang digelontorkan Pemerintah Pusat sebesar Rp68 triliun.
Dia mengatakan, semakin lama bahkan tidak terbatasnya jabatan kepala desa semakin meningkatkan pula kecenderungan penyelewengan wewenang seperti tindak pidana korupsi dari dana desa.
Ironisnya, pemerintah melalui presiden dan DPR RI justru memberikan sinyal akan mengabulkan keinginan para kepala desa tersebut lewat revisi yang akan dimasukkan pada program legislasi nasional prioritas 2023. Pertanyaannya, atas dasar aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang mana? Dan sudah sejauh mana kajian dari pemerintah sendiri akan hal ini?