SURABAYA, Tugujatim.id – Tak ada ruang aman, kasus pencabulan seakan-akan menjadi gunung es yang tak pernah ada habisnya.
Baru-baru ini, Surabaya ramai diperbincangkan atas kasus pencabulan yang diduga dilakukan oleh salah seorang guru Madrasah Ibtidaiyah (MI) di kawasan Surabaya utara. Tersangka yang berinisial A tersebut melakukan aksi bejatnya kepada sejumlah siswanya.
Untuk melancarkan aksinya, tersangka diduga memasukkan alat kelaminnya ke dalam mulut siswa dengan dalih model pembelajaran indra perasa. Tersangka juga membawa sayuran seperti mentimun, wortel, dan terong.
Menyikapi hal tersebut, menurut psikolog keluarga dan anak, Herliyana Isnaeni, pihak sekolah memiliki andil yang besar dalam memberikan ruang aman bagi para siswa ketika di sekolah.
“Pihak komite sekolah perlu bergerak. Regulasi dan sanksi dipertegas serta dipertajam. Di sekolah harus ada tempat pangaduan atau krisis center, misalnya untuk anak-anak curhat dan melapor atas apapun yang dialami atau dirasakannya tanpa dihakimi, tanpa diintimidasi,” ucapnya, pada Kamis (23/2/2023).
Pihak sekolah yang dapat membidangi pendampingan anak-anak terkait pengaduan atau krisis center bisa berasal dari Bimbingan Konseling (BK), wali kelas, komite sekolah atau membentuk Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).
“Tersangka harus diperiksa, diselidiki beserta evidence-evidence-nya. Lalu dihukum sesuai aturan yang berlaku sebagai efek jera,” tegasnya.
Lebih lanjut, akademisi UIN Sunan Ampel Surabaya itu juga menegaskan bahwa sebaiknya tersangka tidak boleh mendapatkan ruang kembali untuk menjadi pengajar di sekolah.
“Tidak diperbolehkan mengajar lagi dengan alasan apapun. Agar tidak menodai institusi pendidikan. Kalau memang tersangka memiliki kelainan psikologis, selain diberi hukuman atau sanksi sesuai regulasi hukum, juga perlu didampingi kejiwaannya,” jelasnya.
Karena menyasar korban di bawah umur, perempuan yang akrab disapa Lea itu menjelaskan bahwa tersangka juga dapat disebut sebagai predator seks. “Iya (predator seks). Segala bentuk pelecehan tidak bisa kita bilang kecil, sedikit ataupun ringan. Sekali pelecehan apapun bentuknya itu adalah kejahatan kemanusiaan,” imbuhnya.
Lea berharap Dinas Pendidikan dapat memanfaatkan kurikulum merdeka belajar sebagai media sosialisasi pencegahan dini terhadap kasus pencabulan.
“Kurikulum merdeka belajar memiliki banyak peluang untuk memasukkan muatan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Kalau pelajarankan ada pelajaran agama dan budi pekerti. Nah bisa masuk di situ. Kalau tentang tubuh, dari segi menjaganya, bisa masuk di IPA atau biologinya, termasuk merawat kesehatan juga,” pungkasnya.