MALANG, Tugujatim.id – Lesbumi Kota Malang menggelar acara Jigang Ramadhan 2023 hari kedua bertajuk “Ngaji Tigang Dinten Ing Wulan Ramadhan” pada Minggu (02/04/2023). Acara yang bekerja sama dengan Pesantren Waqiah Indonesia itu digelar di Perum Joyogrand, Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, selama tiga hari, yaitu Sabtu-Senin (01-03/04/2023).
Jigang Ramadhan Lesbumi Kota Malang hari kedua ini menitikberatkan pada kajian kesenian. Sedangkan pada pertemuan pertama, mereka membahas soal sastra.
Dosen FIB sekaligus pengurus Lesbumi Kota Malang Fatoni Rahman saat pengantar diskusi mengatakan, sastra itu berupaya mengungkapkan sesuatu yang tidak dapat diungkapkan dalam realitas sehingga narator bertanggung jawab untuk menghasilkan narasi banding dan sanding. Dia mengartikan, bila kenyataan menceritakan history maka sastra menciptakan story sanding demi kebutuhan referensial.
“Sastra itu berusaha mengungkapkan sesuatu. Ya, realitas yang tidak dapat diungkapkan,” katanya.
Dia juga mengatakan, fungsi sastra ada dua yakni sastra meniru atau menggambarkan kenyataan (fungsi refleksi) dan sastra menggambarkan sesuatu yang tidak ada di realitas (fungsi refraksi). Sementara tujuan dibuat karya sastra itu bermacam-macam. Mulai dari yang bersifat ideologis hingga mengandung nilai ekonomis.
“Karya sastra itu memiliki tujuan saat dibuat. Yaitu bernilai ideologis dan ekonomis lho,” ujarnya.
Sementara itu, dosen FKIP Unisma sekaligus pengurus Lesbumi Kota Malang Ari Ambarwati mencontohkan soal sastra anak. Dia mengisahkan cerita dulu yang menggambarkan siksaan dan ancaman dijadikan media untuk mendidik anak melalui sastra. Pengaruhnya, dia mengatakan, imajinasi yang tertanam pada anak adalah kepatuhan berlandaskan ketakutan akan kengerian siksa, bukan berdasarkan kerelaan dan penerimaan penuh terhadap nilai-nilai yang diajarkan.
Baca Juga:
Jigang Ramadan, Pesantren Ramadan ala Lesbumi NU Kota Malang Dibuka
Karena itu, dia mengatakan, kini ada upaya merekonstruksi ulang kisah-kisah dalam sastra anak. Tujuannya untuk memberikan gambaran yang lebih persuasif dan penuh kasih sehingga imajinasinya terpantik pada hal positif serta penuh rahmat. Selain itu, nilai-nilai luhur yang ditransfer ke dalam pikiran anak akan masuk dan diterima hingga dewasa nanti tanpa ada “dendam cerita masa kecil.”
“Sastra anak kini direkonstruksi agar memberikan gambaran lebih persuasif dan memantik nilai positif tanpa harus berimajinasi dengan hal-hal yang mengerikan,” katanya.
Sayangnya, dewasa ini sastra anak kurang digemari disebabkan beberapa faktor. Mulai dari kurang optimalnya dukungan pemerintah, adanya media lain yang digunakan untuk mengedukasi anak, hingga peminat yang timpang dalam pembuatan karya sastra anak ketimbang sastra yang lain.
Refleksi Batasi Imajinasi Sastrawan?
Mana yang lebih penting soal sastra sebagai refleksi dan refraksi? Apa refleksi membatasi imajinasi satrawan? Ataukah refraksi mengaburkan kenyataan?
Sebenarnya sastra atau seorang sastrawan memiliki kebebasan untuk menggunakan fungsi sastra. Fungsi refleksi itu untuk mengungkapkan kenyataan. Tapi, pengemasannya unik untuk menyampaikan nilai pada peristiwa nyata tersebut dan di saat yang bersamaan. Fungsi refraksi sastra dapat berlaku pada karya tersebut demi mendukung nilai estetikanya atau melepas imajinasi pembuat karya sastra sehingga menghadirkan perspektif baru bagi penikmat karya.
Nah, seiring perkembangan zaman, karya sastra telah banyak, bertumpuk, menggunung, bahkan tidak tersentuh (nggak disentuh, nggak digemari, nggak dipedulikan). Artinya, zaman telah bergeser. Dahulu sastra menjadi instrumen penting dalam masyarakat di segala lini, edukasi, aturan, dan lain-lain.
Baca Juga:
Jigang Ramadan Lesbumi Kota Malang: Komik, Musik, dan Film Sebagai Gerakan Dakwah
Ternyata, sastra kini hampir digambarkan hanya sebagai entertainment dan bernilai jual. Sulit sekali (bukan tidak mungkin) sastrawan mempertahankan ideologi bahwa sastra adalah instrumen dalam pendidikan.
Selain itu, sastrawan dituntut untuk lebih kreatif dan adaptif sesuai dengan perkembangan zaman. Sekali pun dalam pembuatan karya sastra memiliki berbagai macam tujuan baik ideologis maupun ekonomis, namun seyogianya sastrawan bersikap “Angeli, ananging ora keli”, mengamini bahwa manusia dikutuk untuk bebas dan imajiner, mengimani bahwa sastra bukan sebatas entertainment tapi manusia itu sendiri.