MOJOKERTO, Tugujatim.id – Rekam jejak para ulama dan kiai Mojokerto dalam mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah perlu dilestarikan. Peran tersebut salah satunya melalui barisan Hizbullah.
Melalui barisan itu, para ulama dan juga santrinya bahu-membahu melawan dan mengusir penjajah dari Nusantara. Salah satu tokoh asal Mojokerto yang berperan besar dalam barisan Hizbullah adalah KH Munasir Ali.
KH Munasir Ali lahir di Modopuro, Mojosari, Kabupaten Mojokerto, pada 2 Maret 1919. KH Munasir lahir dari seorang bapak bernama Haji Ali, lurah di Modopuro dan ibu bernama Hasanah.
Isno Woeng Sayun dalam bukunya yang berjudul Biografi Kiai Mojokerto menjelaskan, jejak KH Munasir ikut dalam barisan Hizbullah berawal pada 1939 di mana dia aktif dalam Persatuan Petani NU.
Selain itu, KH Munasir juga aktif dalam organisasi Ansor Mojokerto yang dibentuk pada 1938 bersama rekan sepondoknya, KH Achyat Halimi. Dari organisasi Ansor itu, KH Munasir mendampingi masyarakat pada masa-masa sulit akibat penjajahan Jepang.
Karena terkenal berani dan tangguh, KH Munasir diangkat menjadi Wakil Ketua Laskar Hizbullah Mojokerto. Tak hanya itu, KH Munasir juga menjadi staf Dewan Perjuangan Daerah Surabaya (DPDS) yang juga membentuk Tentara Rakyat Djelata sebanyak 2 ribu orang.
Farid Hidayat dalam Jurnal Historia (2020) mengatakan bahwa saat terjadi Agresi Militer Belanda II pada 1947, daerah-daerah di Mojokerto dan Jawa Timur lain dikuasai Belanda. Dalam periode tersebut, semua angkatan bersenjata dilebur menjadi satu menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), termasuk Laskar Hizbullah.
Laskar Hizbullah yang tergabung dalam TNI berada dalam Resimen III di bawah Brigade 29 atau kemudian dikenal sebagai Resimen 293 Divisi I dan bermarkas di Kertosono.
Saat daerah Mojokerto dikuasai Belanda, KH Munasir sebagai Komandan Batalyon membagi pasukannya dalam dua kompi, yaitu Kompi Muhammad dan Kompi Sakir. Selain itu, dia juga dipercaya sebagai Komandan Batalyon TNI 39 Condromowo, yang kemudian berubah menjadi Batalyon 519 Brawijaya.
Isno menambahkan, pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada 31 Desember 1949, KH Munasir dan pasukannya mendapat mandat untuk mengambil alih daerah Jombang.
Setelah Jombang berhasil dikuasai, berturut-turut Mojokerto dan Gresik berhasil dikuasai olehnya. Kemudian, dia dipindahkan ke Bojonegoro lalu ditarik ke daerah Gunungsari, Surabaya.
Karir militer KH Munasir Ali menemui ujungnya pasca mundur pada 31 Maret 1953. KH Munasir mundur dari dunia militer dengan pangkat terakhir Mayor dengan nomor NRP 10512.