SURABAYA, Tugujatim.id – Komisi Informasi (KI) Provinsi Jatim turut kembali mengingatkan tentang pentingnya keterbukaan informasi publik (KIP). KI Jatim mengingatkan hal ini jelang hari H pemungutan suara.
Ya, Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 memang tinggal sebulan lagi atau tepatnya digelar serentak pada 14 Februari 2024. Karena itu, greget publik jelang hari H pemungutan suara semakin terasa. Informasi seputar kepemiluan kian riuh., baik melalui media pers maupun platform media sosial (medsos).
Dalam menyambut pesta demokrasi ini, KI Jatim mengingatkan pesan terutama bagi para penyelenggara pemilu maupun badan publik terkait lainnya. Sebab, KIP jadi mandatory UUD 1945 Pasal 28 f. Bahwa, setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Berdasarkan konstitusi dasar negara itulah kemudian lahir Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP.
Ketua KI Jatim Edi Purwanto dalam siaran persnya pada Jumat (12/01/2024) mengatakan, para pemilih harus benar-benar teredukasi dengan baik dan benar.
“Masyarakat terutama para pemilih harus benar-benar teredukasi dengan baik dan benar. Apa saja hak dan kewajiban mereka. Publik harus dapat informasi seputar kepemiluan dengan transparan, seterang-terangnya biar tidak gagal paham,’’ katanya.
Dia melanjutkan, selama masa tenang pada 11-13 Februari, apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Baik bagi peserta pemilu atau pemilih. Kalau mendapati indikasi pelanggaran, dia mengatakan, publik harus bagaimana, apa yang bisa dilakukan, bagaimana cara dan melalui saluran apa melaporkannya.
‘’Sebut saja contohnya, apakah boleh mengunggah konten di medsos yang berisi gambar calon saat masa tenang, apa konsekuensi, dan lain-lainnya,’’ kata Edi.
Untuk memakai hak pilih nanti, dia mengatakan apa saja syaratnya. Mulai dari apa harus mengantongi surat undangan dan kalau tidak bagaimana, apakah cukup membawa KTP atau boleh dengan identitas kependudukan lainnya. Selain itu, menyangkut daftar pemilih tetap (DPT), standard operating procedure (SOP) para petugas pemilihan, dan sejenisnya.
‘’Informasi publik kepemiluan wajib masif dan sistematis disampaikan melalui berbagai platform, terkecuali informasi yang memang bersifat tertutup atau dikecualikan sesuai ketentuan,’’ ungkapnya.
Tentu saja, dia mengatakan, informasi tersebut terkait nama-nama calon anggota legislatif, program-progamnya, hingga pengelolaan anggaran oleh partai peserta pemilu. Harapannya, keterbukaan itu mengantisipasi kemungkinan terjadinya persoalan atau konflik dampak misinformasi. Keterbukaan informasi itu tentu akan menumbuhkan trust publik terhadap pelaksanaan pesta demokrasi.
‘’Dengan trust, maka jumlah pemilih yang hadir untuk memberikan suara pada hari pemilihan menjadi tinggi. Kami semua tentu berharap, partisipasi tidak hanya sebatas memberikan suara di bilik, tapi juga melibatkan pemahaman yang baik tentang isu-isu politik dan kebijakannya,’’ papar Edi.
Signifikansi partisipasi pemilih tersebut akan membangun iklim politik serta demokrasi yang mendorong masyarakat untuk terlibat aktif dalam penyelenggaraan negara.
Berdasarkan data dari KPU, tingkat partisipasi secara nasional pada Pemilu 2014 sebesar 69,6 persen (pilpres) dan 2019 naik menjadi 81,9 persen. Kenaikan tingkat partisipasi itu juga terjadi di Provinsi Jatim. Pada Pemilu 2014, sekitar 70 persen (pilpres) dan pada 2019 naik menjadi 82,5 persen.
’’Tentu kami ingin tingginya partisipasi itu betul-betul karena masyarakat telah teredukasi, bukan karena misalnya ada mobilisasi. Bukan ilusi, tapi benar-benar demokrasi,’’ katanya.
Selain Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008, Edi menambahkan, pemilih dan penyelenggara juga mesti mengetahui dan memahami Peraturan Komisi Informasi (PerKI) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Standar Layanan dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Pemilu dan Pemilihan.
Tujuan regulasi itu, dia mengatakan, untuk mewujudkan pelayanan dan pengelolaan informasi pemilu dan pemilihan secara cepat dan tepat serta mekanisme penyelesaian sengketa informasi.
‘’Jadi, prinsip umumnya adalah publik berhak tahu,’’ tegasnya. (*)
Editor: Dwi Lindawati