MALANG, Tugujatim.id – Membahas huru-hara kebebasan berpendapat dan berekspresi juncto kebebasan akademik, ada kasus genting yang perlu disorot hingga Selasa (02/03/2021) ini. Sebab, berdasar informasi yang diterima oleh Kaukus Indonesia dalam Kebebasan Akademik (KIKA), masih terdapat 2 massa aksi yang masih ditahan oleh pihak Polres Batubara atas aksi unjuk rasa menolah Omnibus Law dan UU Cipta Kerja pada tahun 2020 silam.
Mendengar kasus penangkapan itu, ‘Kaukus Indonesia dalam Kebebasan Akademik’ (KIKA), dimotori oleh Akademisi Ilmu Hukum Universitas Brawijaya (UB) Malang, Dr Dhia Al-Uyun SH MH membuat secarik pernyataan sikap atas kasus penangkapan massa aksi oleh Polres Batubara tersebut.
Dalam komposisi itu Dr Dhia menyampaikan, berbagai pernyataan demonstrasi digunakan dalam dalil penuntutan kasus Perkara 1339/Pid.B/2020/PN-Kis a.n terdakwa Heri Gunawan dan Arwan Syahputra.
Hal itu merupakan, jelas Dr Dhia, ancaman bagi negara hukum dan demokrasi karena penyampaian pendapat bukan merupakan pelanggaran hukum, hak warga negara terutama insan akademis yang memegang marwah pengabdian pendidikan.
“Pasal 28 UUD Tahun 1945, UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat dan ICCPR (‘International Covenant on Civil and Political Rights’, red) menjamin tentang kebebasan berpendapat, bahkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor
7 tahun 2012, menyebutkan bahwa menangani demonstrasi tidak boleh melanggar HAM,” terang Dr Dhia selaku Koordinator KIKA mengenai pernyataan sikap tersebut, Selasa (02/03/2021) sore.
Sebagai informasi, KIKA merupakan kelompok yang menjunjung tinggi hak asasi paling dasar manusia, yaitu kebebasan berpendapat dan berekspresi juncto kebebasan akademik. Di dalamnya terdapat komposisi pengurus dan anggota dari berbagai pakar, aktivis dan akademisi berbagai perguruan tinggi terkemuka di Indonesia.
Gambaran Kasus Penangkapan
Kilas balik kasus penangkapan tersebut dimulai dari 12 Oktober 2020 lalu, tatkala aksi demonstrasi tolak UU Omnibuslaw Cipta Kerja di Kantor DPRD Batu Bara, Sumatera Utara berlangsung. Diikuti beragam lapisan masyarakat, mulai dari elemen sosial buruh, mahasiswa, pelajar dan aktivis pergerakan.
Awalnya, aksi itu berlangsung damai dan khidmat. Akan tetapi, ada sosok provokator yang tidak dikenal melempar batu, tepat ke arah gedung DPRD Batubara hingga mengenai kepala Kasat Sabhara Polres Batubara, lantas ‘chaos’ dan keributan tidak terhindarkan. Kacau, bentrok merembet ke semua sudut, hingga demonstran yang tidak bersalah ikut menjadi sasaran.
Selesai keributan saat itu, ada sekitar 42 orang dari massa aksi yang diringkus dan diamankan ke Polres Batubara. Hingga saat ini, Selasa (02/03/2021), sejak kejadian bentrok tersebut ada 7 orang yang telah dijadikan tersangka atas aksi akhir tahun lalu.
Salah satunya, sosok Arwan Syahputra, Korlap Aksi sekaligus mahasiswa Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Malikussaleh dijemput Yurisdiksi Polres Batubara. Ada berita duka mengikuti, bahwa 2 massa aksi lainnya dibawa ke Mensa Kupi Lhokseumawe, Banda Aceh. Arwan dan 2 kerabat itu hilang kontak, informasi terbaru, saat ini mereka diperiksa Polres Batubara hingga didakwa pasal 214 jo 212 KUHP terkait kekerasan melawan pejabat.
Pernyataan Sikap dari Kaukus Indonesia dalam Kebebasan Akademik (KIKA)
Selain itu, Dr Dhia menyampaikan poin-poin penting dan utama dalam pernyataan sikap KIKA yang masih hangat dan baru saja dipublikasikan pada Selasa (02/03/2021) siang. Meliputi desakan dan catatan sebagai berikut:
1. Mendesak hakim untuk membebaskan Heri Gunawan dan Arwan Syahputra akibat alasan tersebut di atas;
2. Mendesak hakim untuk berani melakukan penggalian nilai-nilai hukum yang berkembang dalam masyarakat sebagaimana amanat dari Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. akibat fakta kasus berbeda antara keterangan dalam surat penuntutan dan fakta hukum yang terjadi;
3. Mengecam putusan-putusan yang melakukan kriminalisasi insan akademik penyampaian pendapat yang merupakan wujud partisipasi masyarakat yang dilindungi peraturan perundang-undangan;
“Di samping itu, tuntutan jaksa memperlihatkan pembebanan seorang individu, pada kesalahan yang tidak diperbuat, ketidakjelasan dalam hal menerangkan pekerjaan yang sah sebagai dasar kebolehan pelarangan demo oleh kepolisian, fakta persidangan yang menggunakan dalil perkiraan yang mana pada akhirnya melanggar hak asasi manusia seseorang untuk mendapat proses peradilan yang seimbang (‘due process of law’, red),” pungkasnya. (Rangga Aji/gg)