MALANG, Tugujatim.id – Apakah Anda pernah mendengar istilah Safaran? Jika Anda orang Jawa, tentu mengetahui istilah itu. Sebab, di bulan Safar itu ada tradisi yang dijalankan oleh masyarakat, tapi semuanya tergantung masing-masing daerah karena memiliki cara yang berbeda-beda. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Pokdarwis Kampung Gribig Religi Kota Malang dengan membuat bubur sapar. Seperti apa ceritanya?
Menurut kepercayaan masyarakat Jawa pada umumnya, sifat bulan Safar hampir sama dengan bulan sebelumnya yang merupakan kelanjutan dari bulan Suro (Muharram). Karena itu, untuk memperingatinya, Pokdarwis Kampung Gribig Religi menggelar event terbatas “Mbabar Bubur Sapar” pada Kamis Kliwon malam Jumat Legi (16/09/2021) di destinasi kompleks Cagar Budaya dan Pesarean Ki Ageng Gribig.
Kegiatan Mbabar Bubur Safar ini merupakan sebuah event promosi pariwisata Kota Malang yang berasal dari Kampung Tematik. Tentunya, event ini tidak seramai tahun-tahun sebelumnya yang penuh oleh peziarah dari berbagai daerah. Sebab, hingga kini pandemi Covid-19 di Kota Malang masih masa PPKM Level 3. Karena itu, kegiatan ini tidak bisa dikunjungi peziarah maupun wisatawan.
Sementara itu, Sekretaris Kampung Gribig Religi Agus Ahmad Saichu mengatakan, bulan ini mengingatkan kita semua bahwa Safar adalah bulan kedua dalam kalender Jawa.
“Bulan Safar itu setelah bulan pertama, yaitu bulan Suro,” ujarnya.
Karena itu, dia mengatakan, masyarakat membuat bubur sapar atau biasa disebut “jenang grendul”. Bubur atau jenang ini berbentuk bundar-bundar yang mengandung makna.
“Maknanya itu ada kalanya siklus kehidupan manusia ada di atas, kadang ada pula di bawah. Jadi, seperti konsep bola (roda kehidupan),” ujarnya.
Untuk bahan pembuatan bubur sapar adalah beras ketan. Untuk diketahui, ketan adalah lekat atau “lengket” yang mengandung makna bahwa perbedaan apa pun dalam hal bermasyarakat tetap “lengket” atau erat dalam bersosialisasi dengan warga masyarakat yang lain.
“Jadi, ada harmonisasi dalam menjalani kehidupan ini,” ujar Agus.
Terpisah, Ki Demang yang merupakan pengggas Kampung Budaya Polowijen sekaligus Ketua Forkom Pokdarwis Kampung Tematik Kota Malang ikut memberikan tanggapannya bahwa bulan Safar sebenarnya banyak diyakini sebagai bulan yang penuh bencana, bala, malapetaka, dan kesialan.
“Mayoritas masyarakat Jawa hingga saat ini masih memercayai bahwa bulan ini dipenuhi dengan hal-hal yang bersifat ketidakberuntungan,” ujar pria yang bernama asli Isa Wahyudi ini.
Dia melanjutkan, masyarakat Jawa sendiri yang beraliran kejawen menganggap hari Rabu Legi pada bulan Safar dianggap sebagai hari yang jelek sekali sehingga tidak boleh dibuat bepergian. Sedangkan hari Rabu Pahing yang dipercaya sebagai Dina Taliwangke, yaitu hari yang sebaiknya disirik (dihindari). (*)