Tugujatim.id – Berdakwah memanglah wajib bagi setiap umat Islam. Tujuannya tentu mengajak orang lain untuk berbuat kebaikan serta mencegah keburukan. Namun, zaman saat ini sering kali menemukan ustad abal-abal berkedok menyampaikan syiar agama.
Dalam Al-Qur’an pun sudah dijelaskan bahwa setiap umat Islam memiliki kewajiban untuk berdakwah kepada sesama. Namun, bagaimana jika seseorang yang belum memiliki ilmu agama yang mumpuni berdakwah dengan porsi yang tidak sesuai dengan kadar keilmuannya? Bahkan, hingga dijuluki sebagai seorang ustad/ustadah? Atau dai/daiyah? Apakah berdakwah di depan massa tidak diperlukan sebuah bimbingan dari seorang guru yang alim?
Hal seperti ini sudah mulai marak pada zaman sekarang, dengan berkembang pesatnya dunia digital saat ini seseorang dapat dengan mudah mengekspos apa saja sesuai kehendak mereka tanpa terkontrol. Hanya dengan bermodal serban yang melingkar di kepala, pintar public speaking, dan pandai berhumor di depan masyarakat, mereka bisa dengan mudah mendapat label ustad dan menjadi dai terkenal yang diidolakan banyak orang, khususnya orang-orang awam.
Also Read
Menjadi seorang dai/daiyah atau penceramah tidaklah mudah. Untuk menjadi penceramah tidak bisa langsung secara otodidak. Sebab, mereka harus menguasai dan mendalami berbagai ilmu agar tidak menjadi penceramah yang abal-abal. Untuk menjadi seorang penceramah, seseorang itu diharuskan berguru pada seorang ulama yang sudah terbukti kredibilitasnya. Artinya, bukan seorang ustad abal-abal atau sembarangan. Sebab, pada saat seseorang itu belajar suatu ilmu (ilmu yang berkaitan dengan kemaslahatan, ilmu agama) tanpa berguru pada orang alim maka setanlah yang akan menjadi gurunya.
Seorang ulama tasawwuf Imam Abu Yazid mengatakan, ”barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka imamnya adalah setan”. Maqolah ini senada dengan ucapan Isma`il haqqi Asel-Hanafi dalam Tafsir Ruh Albayan, ”barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah setan”.
Seorang ulama tarekat Syadziliyah yakni Syaikh Ali bin Wafa mengatakan, siapa pun yang mengharapkan kesempurnaan tanpa melalui guru dan bimbingan, maka dia telah salah menempuh jalan.
Seperti halnya sebuah fenomena seorang pendakwah salah dalam memaknai kata bahasa Arab yang dikatakan oleh Ahmad Zubaidi di mana ada seorang penceramah terkenal, yang sepertinya kurang memahami gramatika bahasa Arab katakan saja dia bernama Fulan. Dia salah dalam memaknai kata kafir dan kuffar. Dia mengatakan bahwa dua kata ini memiliki makna yang berbeda. Padahal, sebenarnya dalam ilmu gramatika bahasa Arab, dua kata ini memiliki makna yang sama. Bedanya dalam bentuknya saja, yakni mufrod dan jamaknya.
Kejadian yang serupa dengan ini adalah adanya seorang dai yang salah dalam menyebutkan ayat Al-Qur’an. Dia menyuruh untuk membuka ayat Al-Qur’an Surah Al-Isra Ayat 176, padahal surah tersebut hanya sampai 111. Lebih mengejutkannya lagi, dia malah membaca surah Al Araf Ayat 176. Parahnya surah ini dijadikan alat untuk pembenaran mengolok pendukung partai tertentu dalam pemilihan capres.
Bagi seseorang yang memiliki ilmu agama yang dalam, pasti dia akan lebih selektif dalam melihat video-video yang beredar dalam internet. Dia tidak akan sembarangan mengidolakan seorang ustad/ustadah, karena perlu kita ketahui pada zaman sekarang banyak beredar konten-konten ceramah dari orang-orang yang tidak memiliki ilmu agama yang mumpuni, tidak jarang dari mereka yang berceramah dengan ugal-ugalan, dan terkadang juga ada yang gagal paham dalam menafsirkan Al-Quran dan hadis. Tentulah hal seperti ini sangat berbahaya karena dapat berakibat sesat dan menyesatkan.
Sebaiknya bagi seseorang yang ingin belajar ilmu agama hendaknya dia tidak belajar dari internet, atau dengan sok gaulnya ingin langsung kembali pada Al-Quran dan hadis dengan bermodal terjemahan, karena perlu kita ketahui dalam menafsirkannya harus mempelajari berbagai ilmu yang digunakan untuk menafsirkannya seperti ilmu nahwu, sarraf, nasikh, mansukh, dan masih banyak lagi. Jadi, rasanya sangat aneh jika seseorang itu belum pernah mempelajari ilmu-ilmu tafsir tersebut namun sudah berani menafsirkan Al-Qur’an. Tentulah dia akan sangat berkemungkinan salah total dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut. Alangkah lebih baiknya jika dia berguru pada seorang ulama yang sudah terbukti kredibilitasnya.
Penulis adalah mahasiswi KPI Al-Qolam, Kabupaten Malang.