YOGYAKARTA, Tugujatim.id – Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan, demikian potongan puisi Joko Pinurbo. Ekspresi kata-kata itu tidak berlebihan untuk menggambarkan hangatnya suasana Yogyakarta yang selalu menghipnotis siapapun. Mereka yang berkunjung ke Kota Budaya ini akan merindukannya kembali suatu saat.
Keistimewaan Jogja, demikian Yogyakarta biasa dipanggil, bukanlah bualan belaka. Selain istimewa di hati masyarakat, “Jogja Istimewa” sekaligus tagline kota ini yang menjadi simbol Jogja Gumbregah (penuh semangat kebersamaan untuk kemajuan).
Kota gudeg ini juga istimewa karena termasuk daerah dengan otonomi khusus, persis seperti DKI Jakarta, Daerah Otonomi Khusus Papua dan Daerah Istimewa Aceh. Keistimewaan itu diatur dalam UU No. 9 tahun 2015 sebagai perubahan atas UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Also Read
Itulah yang membuat Jogja disebut DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta). Status daerah istimewa ini disandang secara resmi atau formal oleh Jogja sejak tahun 1945 pasca Prokmasi dikumandangkan oleh Sukarno dan Mohammad Hatta. Selain itu, keistimewaan Jogja tercermin dari seni, budaya dan sejarah sebagai warisan yang kaya. Dari segi seni dan budaya Jogja mewariskan di antaranya Kraton Yogyakarta, Museum Affandi, Museum Sonobudoyo, Museum Benteng Vredeburg, Jemparingan, Ramayana Ballet, dst.
Dari sisi sejarah, juga tidak kalah menariknya. Salah satu kerajaan terbesar di Jawa yaitu Mataram, berdiri di tanah Jogja tepatnya di daerah Plered, Bantul. Kerajaan ini, kemudian pecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakata sejak perjanjian Giyanti pada 13 Fabruari 1755.
Jogja pernah menjadi Ibu Kota Indonesia. Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, penjajah Belanda masih mengusik kedaulatan Indonesia, sehingga demi keamanan, pusat pemerintahan dipindahkan ke Jogja tepat pada 4 Januari 1946. Pada agresi militer Belanda II tahun 1948, Jogja menjadi daerah yang disasar. Saat itu terjadi apa yang dikenal perang gerilya yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman. Karena kekayaan seni dan budaya itulah, Presiden Soekarno juga mengatakan Jogja daerah istimewa.
Kemudian, jika ditilik dari sejarah panjangnya, keistimewaan Yogyakarta bahkan dimulai jauh sebelum masa kemerdekaan. Sebelum Indonesia merdeka, Jogja adalah Daerah Swapraja atau daerah yang memiliki pemerintahan sendiri yang terdiri atas Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman.
Daerah dengan pemerintahan sendiri artinya baik Kesultanan maupun Pakualaman sebagai kerajaan berhak mengatur urusan rumah tangganya. Hal ini juga diakui oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dan dinyatakan dalam kontrak politik.
Indonesia mengakui Jogja sebagai daerah istimewa tepat setelah Proklamasi Kemerdekaan. Setelah Proklamasi dilaksanakan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII, menyatakan kepada Presiden Soekarno bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kini Jogja dipimpin oleh Sultan Hemengku Buwono X dengan tingkat kedudukan setara Gubernur. Jogja memiliki peraturannya sendiri yang dilegitimasi oleh Undang-undang No. 3 tahun 1950, sesuai dengan maksud pasal 18 UUD 1945, disebutkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah meliputi bekas daerah atau kesultanan Yogyakarta dan daerah Pakualaman.
Kemudian yang tidak boleh dilupakan, Jogja dikenal sebagai kota tujuan wisata, terutama wisata budaya. Ia seringkali menjadi tuan rumah untuk acara pameran dan pentas seni dari skala lokal hingga internasional, seperti Festival Kebudayaan Yogyakarta, NgayogJazz, Biennale, dan Prambanan Jazz.
Bangunan tua peninggalan Belanda yang masih berdiri kokoh serta keramahan dan kehangatan dari warga lokal menjadikan kota ini penuh kenangan bagi pengunjungnya. Kemegahan candi-candi, serta mitos dan cerita rakyat yang tersebar membuat keistimewaan kota ini tidak terbantahkan lagi.