SURABAYA, Tugujatim.id – Tagar Menolak Lupa akan terus menggema setiap Mei. 25 tahun reformasi, patut dirayakan dengan memori-memori kolektif yang terus ada. Desakan mundurnya Soeharto dalam menduduki kursi RI 1 menimbulkan ribuan korban.
Meninggal, luka, dan tanda tanya seperti nasib dua mahasiswa Universitas Airlangga, Petrus Bimo Anugrah dan Herman Hendrawan yang hilang saat kerusuhan Mei 1998.
Herman dan Bimo menjadi dua dari 13 orang yang entah di mana nasibnya selama seperempat abad ini. Hidup atau mati, tak ada jawaban yang pasti. Mereka hilang begitu saja ketika memperjuangkan reformasi.

Akankah generasi kini dapat mengetahui sosok Herman dan Bimo? Upaya merawat ingatan agar tagar Menolak Lupa masih hidup.
Dandik Katjasungkara yang merupakan sahabat Herman dan Bimo semasa menjadi aktivis beserta sejumlah orang yang mengatasnamakan Kawan Herman Bimo memajang sejumlah foto-foto yang kini menjadi kenangan dan patut diingat di samping bangunan Museum Etnografi, Kampus B Universitas Airlangga.
“Pameran ini dalam rangka menyambut 25 tahun reformasi. Itu penyelenggaranya Departemen Antropologi FISIP Unair yang bekerja sama dengan Kawan Herman Bimo. Kami menggelar pameran semua hal yang terkait peristiwa reformasi dan perihal Herman Bimo,” kata Dandik membuka obrolan bersama Tugujatim.id.

Beruntungnya, kalau saja waktu itu Prasetya Panca Putra tidak memiliki hobi foto meskipun menjadi aktivis, mungkin wajah Herman dan Bimo semasa perjuangannya ketika kuliah menjadi aktivis hilang begitu saja dalam ingatan.
Mengamati lebih detail, terlihat aktivitas Herman dan Bimo waktu itu yang rupanya memang handal berorasi.
Bimo si pemilik suara emas, lantas membuat lagu-lagu berbau sindiran pedas untuk rezim Soeharto. Salah satu foto menunjukkan, kala Bimo dengan kemahirannya bermain gitar sedang memacukan lagu-lagunya bersama anggota bandnya, Lontar.

Sedang Herman, pribadi yang cerdas dan keras serta lantang dalam setiap kritikannya. Herman memang dikenal sebagai mahasiswa yang cerdas. Ia banyak menghabiskan waktunya untuk menggerakkan aksi demokrasi dari kota ke kota.
“Herman dan Bimo masih berstatus menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unair. Herman, mahasiswa Ilmu Politik angkatan 90, sedangkan Bimo jurusan Ilmu Komunikasi angkatan 93. Mereka aktif dalam organisasi Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD),” kata Dandik.
Memiliki intuisi dan jiwa aktivis yang tinggi, Herman dan Bimo yang semula berada di Surabaya mendadak menuju Jakarta untuk bergabung dalam aksi pusat. Kerusuhan semakin menguat kala 18 Mei 1998, puluhan ribu mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi berhasil menguasai gedung DPR/MPR.

Sejak saat itu, desas-desus kabar hilangnya beberapa aktivis masih masif. Ada rasa kekhawatiran dalam diri Dandik, mengapa dua sahabatnya belum juga muncul setelah Soeharto lengser. “Aku mikir, mereka pasti kembali,” ucapnya untuk menguatkan hati dan pikiran.
Nampaknya, beberapa menit setelah kabar itu, kehilangan Herman dan Bimo menjadi kian panjang waktunya hingga 25 tahun ini. Tak habis nyerah, Dandik segera membentuk koordinasi dan menemui aktivis HAM, Munir untuk meminta bantuan pencarian Herman dan Bimo.
“Setelah Soeharto jatuh kok mereka nggak ada kabar, kami berkoordinasi dengan Cak Munir lalu dibentuknya tim investigasi independen,” ujarnya.

Hilangnya kabar Herman dan Bimo menimbulkan pertanyaan besar bagi teman, dosen, dan terpenting keluarganya. Traumatis masih dirasakan hingga kini oleh ayah Bimo.
“Bapaknya Bimo, hampir tiap hari duduk di belakang rumah. Karena Bimo kebiasaan kalau pulang lewat samping belakang. Bapaknya mungkin sampai hari ini tiap hari ngopi di pintu dapur. Sampai sekarang beliau tidak pernah mengganggap bahwa anaknya sudah meninggal. Sejauh ini, trauma itu lebih kuat,” ucap pria yang juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) itu.
Dandik dan keluarga para aktivis yang hingga kini belum diketahui keberadaannya masih mengharapkan kepastian penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Yang menyangkut salah satunya Herman dan Bimo serta 11 orang aktivis lainnya.

“Aku masih suka nangis kalau mengingat mereka. Seadainya mereka masih hidup saya hanya ingin bertanya bagaimana keadaannya. Kalaupun sekarang berbeda pandangan politik, saya tidak kecewa. Saya berharap mereka saat ini ada di suatu tempat,” pungkas Dandik.