SIDOARJO, Tugujatim.id – Melestarikan dan mewariskan nilai toleransi melalui sahur dan buka bersama lintas iman dan kaum marginal, Nyai Shinta Nuriyah Wahid mengajak seluruh umat beragama agar memiliki sensitivitas kemanusiaan serta rasa gotong royong. Hal itu dia ungkapkan pada Dialog Kebangsaan saat gelaran Buka Bersama Lintas Iman di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sidoarjo, Jumat (07/04/2023).
Bulan Ramadan menjadi momentum penting bagi seluruh umat manusia. Tidak hanya mereka yang beragama muslim saja, tapi juga seluruh kepercayaan lain. Seperti Kristen dan Katolik yang juga pada bulan ini merayakan Hari Paskah, hari peringatan kematian Yesus Kristus.
Sejatinya, agenda kegiatan buka dan sahur bersama lintas iman ini sudah Nyai Shinta Nuriyah Wahid lakukan sejak 20 tahun silam. Saat mendampingi suaminya, Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid menjadi kepala negara.
“Kehadiran saya di sini dalam rangka melaksanakan kerja yang telah dirintis sejak mendampingi Gus Dur dulu. Saya melakukan sahur, bukan buka bersama. Tapi, program sahur bersama dengan kaum duafa dan marginal,” kata Nyai Shinta Nuriyah Wahid.
Dia kemudian menanyakan kepada seluruh jemaat yang hadir. Jika mengaca pada fenomena bulan Ramadan, apa yang membedakan antara sahur dan berbuka? Perbedaan sahur dan buka bersama bukanlah dilihat dari waktu dan tujuan tapi kenikmatan pahalanya. Sebab, tidak jarang kegiatan buka bersama justru menjadi agenda yang memuat unsur politik.
“Kalau buka bersama itu banyak sekali yang mengadakan, tapi sahur nggak ada. Kadang yang ngundang dan yang diundang bukber itu tidak puasa, lantas pahala yang didapat dari mana? Tidak ada. Yang ada justru mendapat tambahan suara. Yang didapat bukan pahala di akhirat, tapi pahala di dunia,” ucapnya.
Dia mengutip dari salah satu hadis riwayat Tirmidzi, “Barang siapa yang memberi makan orang yang berpuasa maka baginya pahalanya akan berlipat ganda,”. Itulah yang menjadi kunci bagi seorang Nyai Shinta Nuriyah lebih aktif menggelar sahur bersama. Merasa tidak mampu jika melakukannya sendiri, dia membutuhkan uluran tangan dari orang lain, dari berbagai elemen suku, budaya, ras, dan agama.
“Saya mengajak mereka sahur bersama agar saudara mereka yang beragama Islam dapat menjalankan ibadah puasa dengan sebaik-baiknya,” jelasnya.
Di sela-sela ceramahnya, Nyai Shinta Nuriyah menanyakan asal suku dari seluruh jemaah. Dia mengabsen satu per satu mulai dari suku Jawa, Dayak, Batak, Bugis, Madura, Sunda, dan sebagainya. Dia juga menanyakan setiap agama para jemaat. Apa yang dilakukan seakan menunjukkan Indonesia betapa kayanya memiliki beragam suku dan agama. Sehingga penting bagi seluruh elemen masyarakat untuk menjaga toleransi.
“Kita semua dan mereka adalah saudara. Kalau saudara apa boleh gondok-gondokan, carok-carokan? Tidak boleh. Yang boleh adalah saling menyayangi, menyayangi, menghormati, tolong menolong. Bagaimanapun kita semua adalah satu,” tuturnya.
Lebih lanjut Nyai Shinta Nuriyah menuturkan bahwa saat ini budaya gotong royong di Indonesia kian memudar. Sensitivitas kemanusiaan sebagai cermin tingginya peradaban tidak ada lagi karena tergerus oleh sikap dan perbuatan manusia itu sendiri.
“Saya di sini berharap akan ada setitik usaha untuk bisa menyadarkan mereka kembali ke sikap gotong royong, meningkatkan moral dan budi pekerti serta kemanusiaan,” bebernya.
Bagi dia, kegiatan sahur maupun buka bersama dengan lintas iman akan terangkum dalam balutan kebhinnekaan, persatuan dan kesatuan seluruh anak bangsa. Tujuan untuk saling menghormati, menghargai, menyayangi akan memupuk rasa persaudaraan yang lebih kuat agar tetap satu.