BANDUNG, Tugujatim.id – Tim “Jelajah Jawa Bali, Mereka yang Memberi Arti” melakukan eksplorasi di Bandung, Jawa Barat, di hari kedua. Tim pun mengunjungi salah satu tempat yaitu Pesantren At-Tamur di Cibiruhilir, Kabupaten Bandung. Uniknya, pesantren ini membina anak jalanan, warga kurang mampu, hingga pengguna narkoba. Bagaimana kisahnya?
Salat Magrib di Masjid Syahida Cibiruhilir Bandung baru saja usai, ditutup dengan doa oleh sang imam. Sejumlah anak muda belasan tahun tampak bergegas ke pojok masjid dan bersila melingkar sembari mengeluarkan buku berwarna kuning.
Mereka lalu bersama mengiramakan bacaan tertentu dengan nada kasidah. Bacaan itu rupanya “wazan” yaitu kunci belajar shorof atau disebut juga tashrif. Shorof adalah ilmu yang mempelajari perubahan kata dalam bahasa Arab atau dikenal morfologi.
Also Read
Mereka adalah para santri Pesantren At-Tamur, pesantren yang selama ini menjadi tempat belajar para anak jalanan, mahasiswa, dan beberapa anak tak mampu sekolah. Mereka diajari baca kitab, kebudayaan, dan tentang akhlak.
Berjarak sekitar lima langkah ke sebelah kiri masjid, ada aula seukuran kira-kira 20×8 meter. Sejumlah anak seusia sekolah dasar membaca Iqra’ yaitu bacaan untuk belajar dasar membaca Al-Qur’an. Mereka dipandu salah satu santri At-Tamur yang sudah bisa membaca Al-Qur’an.
Para santri ini dulunya dikumpulkan oleh Syamsuddin, pendiri Pesantren Anak Jalanan At-Tamur pada 2008. Hingga kini sudah ada puluhan anak jalanan yang pernah nyantri di pesantren ini. Bahkan, beberapa di antaranya merupakan pecandu narkoba.
“Saya mendirikan pesantren ini, dulu diberi tantangan oleh teman. Bisa nggak kamu membuat anak jalanan cium tangan,” kata Om Syamsu, demikian dia dipanggil, menirukan ucapan temannya saat ditemui di kediamannya di Dusun Cimekar Cileunyi, Kabupaten Bandung, Rabu (31/08/2022) kepada tim jelajah “Jawa Bali, Mereka yang Memberi Arti” oleh Tugu Media Group dan PT Paragon Technology and Innovation.
Ajari Santri Pecandu Narkoba
Dia menceritakan, awalnya pada 2008, ada anak asal NTT kuliah di UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang tinggal di Masjid Syahida. Anak ini untuk membayar SPP kuliahnya ngamen di jalanan bersama anak jalanan lainnya, setelah ngamen tidur di masjid.
Saat itu, Syamsuddin meminta anak itu beserta temannya untuk berkumpul di masjid tersebut dan ngaji bersama. Sejak itu kegiatan pesantren anak jalanan dimulai. Pada Januari 2008, Pesantren At-Tamur resmi berdiri. Anak-anak jalanan dan beberapa anak tak mampu sekolah datang untuk belajar di tempat itu.

“Karena mereka anak jalanan, kalau siang saya bebasin boleh ke mana aja. Mungkin mau ngamen atau apa. Tapi, kalau malam harus balik ke pondok untuk ngaji. Mereka mau ngaji saja sudah bagus,” kata alumnus UIN Sunan Gunung Djati Bandung itu pada tim Jelajah Jawa-Bali tentang Mereka yang Memberi Arti.
Perkembangannya tak hanya anak jalanan yang datang ke Pesantren At-Tamur, tapi juga ada beberapa yang sudah menjadi pecandu narkoba. Para pecandu ini kadang kumat ingin mengisap. Jika itu terjadi, mereka dimandiin tengah malam agar sadar.
“Pecandu ini kan kadang kurang sadar kalau lagi kumat. Kalau saya minta dibuatkan kopi, kadang dia nggak balik-balik dari dapur. Ternyata setelah dicek, kopinya diminum sendiri di dapur,” katanya lalu terkekeh.
Ngaji Kitab Kuning
Di Pesantren At-Tamur, para santri diberi jadwal yang rutin untuk belajar ngaji. Beberapa kitab yang biasanya dipelajari di antaranya Tafsir Jalalain, Safinatun Najah, Jurumiyyah, Murottal Hadis, dan Tawasul.
“Pengajarnya ada beberapa ustaz. Saya biasanya ngisi tawasul pada malam Jumat,” kata pria yang pernah belajar filsafat di UIN Syarif Hidayatulla Jakarta itu.
Beberapa kitab kuning tersebut memang biasanya dipelajari di pesantren salaf sebagai kitab dasar yang harus dikuasai para santri, sebelum beranjak ke beberapa kitab lainnya yang lebih sulit. Selain kitab kuning, para santri juga belajar hal lain, seperti kajian kebudayaan, wawasan kebangsaan, dan diskusi toleransi. Untuk itu, biasanya Attamur menghadirkan pembicara dari luar. Salah satu tokoh nasional yang pernah hadir adalah Cak Nun.
Rintangan Hadapi Anak Jalanan
Syamsuddin mengakui menghadapi anak jalanan tidaklah mudah. Mereka kadang menuntut dikasih uang, jika belajar ngaji dia dapat uang berapa. Karena kalau ngamen, mereka sudah pasti dapat uang.
“Di Pesantren At-Tamur, mereka hanya ngaji secara gratis. Tapi, mereka minta uang karena biasanya ngamen dapat uang. Akhirnya mereka keluar masuk pesantren,” kata Om Syamsu.
Santri keluar masuk ini biasa terjadi, biasanya bertahan hingga 5-7 bulan setelah itu keluar. Walaupun ada juga yang bertahan hingga sukses kuliah. Tapi baginya itu hal wajar, karena bagi seorang anak jalanan bisa datang ke masjid belajar ngaji meski sebentar itu sudah bagus.
Sebab, anak jalanan yang keluar masuk, akhirnya At-Tamur membebaskan santri yang akan masuk tidak harus dari anak jalanan, orang tidak mampu dan yatim juga boleh. Saat ini ada 20 santri dari anak jalanan dan anak tidak mampu yang belajar di pesantren tersebut.
Mereka kemudian didorong untuk melanjutkan sekolah atau kuliah. Ada beberapa yang tidak mau sekolah diikutkan kejar paket. Bagi Om Samsu, pendidikan adalah satu-satu jalan yang bisa mereka tempuh untuk mengubah hidup.
“Mereka sudah tidak punya apa-apa, satu-satunya yang bisa dilakukan adalah sekolah,” kata dia.
Untuk biaya sekolah, tak jarang Om Syamsu memberikan utangan pada santrinya. Utang itu agar anak jalanan dapat dikontrol untuk bekerja dan semangat kuliah. Nanti setelah selesai kuliah, utang itu dibayar.
“Ya, kalaupun mereka bayar, saya kembalikan untuk diberikan pada mereka,” kata dia.
Untuk biaya hidup sehari-hari, para santri iuran Rp125 ribu untuk makan dan wifi per bulan. Walaupun yang bayar hanya 80 persen, kekurangannya ditanggung Syamsuddin.
Mengapa Lakukan Hal yang Sia-Sia?
Ditanya mengapa Syamsuddin mau melakukan hal yang tidak menghasilkan uang itu? Dia menjawab, dirinya dulu pernah belajar di pesantren secara gratis yaitu di Al Masturiyah, Sukabumi. Om Syamsu ditinggal sang bapak pada saat kelas 4 SD sehingga untuk belajar dia mengalami kekurangan.
“Saya dulu bekerja di kebun milik orang Khonghucu di pelabuhan ratu,” kenangnya.
Dia bercita-cita belajar di pesantren, tapi tak ada uang. Para temannya juga nyantri di Gontor. Akhirnya pada 1993, dia ditawari mondok di Al Masturiyah secara gratis asalkan membantu pesantren seperti bersih-bersih dan apa pun.
“Saat itu yang mengesankan saat saya harus bersihkan kamar mandi cewek, di situ kotor. Kalau ada cewek, saya pergi dulu, malu,” kenangnya.
Itulah pengalaman yang membuat Syamsuddin mau mengerjakan mendidik anak jalanan meski tidak mendapat bayaran. Bagi dia, apa yang dia lakukan tidak bisa dinilai dengan apa pun.
“Kalau ada sekolah yang biayanya puluhan juta rupiah, itu masih murah karena masih ada nilainya. Di Pesantren At-Tamur tak ada nilainya berapa pun,” kata dia.
Catatan ini adalah bagian dari program Jelajah Jawa-Bali tentang Inspirasi dari Kelompok Kecil yang Memberi Arti oleh Tugu Media Group x PT Paragon Technology and Innovation. Program ini didukung oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP), Pondok Inspirasi, Genara Art, Rumah Wijaya, dan pemimpin.id.