MALANG – Setelah sempat ditantang Kepala Desa Selorejo, Bambang Suponyono, untuk membuktikan bukti kuitansi sewa tanah. Petani jeruk langsung menunjukkan kuitansi yang ditandatangani oleh istri kades Selorejo sendiri.
“Itu juga menjadi problem besar, pertama karena tidak transparannya mekanisme pembayaran. Ada yang melalui istrinya sehingga ada kuitansi atas nama Anna, ada yang atas nama Pak Kepala Desa langsung dan ada yang atas nama Pak Karnadi,” Ungkap Wiwid Tuhu Prasetyanto, penasihat hukum kelompok Petani Sumberrejeki pada Senin (25/08/2020) usai mediasi di Ruang Anusapati Pendopo Agung Kabupaten Malang.
Baca Juga: Modus Investasi Tembakau, Biduan Asal Malang Kena Tipu Rp 350 Juta
Menurut Wiwid, penandatanganan atas nama ibu Kades ini atas penunjukan Bambang sendiri. “Misalnya saat itu di rumah Pak Kades mau bayar sewa, Pak Kades lalu nelpon yaudah terima aja, akhirnya diterima oleh atas nama Bu Anna,” ujarnya.
“Sehingga ketidak jelasan ini yang jadi masalah, kalau ini terstruktur dengan baik maka pasti petani akan tertib. Bahkan, sampai saat ini kita tidak tahu APBD Desa Selorejo berapa isinya, berapa pendapatannya selama ini,” sambungnya.
Bahkan, Wiwid baru tahu jalau pendapat Desa Selorejo mencapai Rp 700 juta. “Kalau memang pendapatannya sampai Rp 700 juta maka Desa Selorejo adalah desa yang sangat maju dan kita akan dukung,” herannya.
Ia juga mengungkapkan jika kontrak antara petani jeruk dan pihak desa adalah kontrak jangka panjang untuk tanaman yang berumur panjang. “Dan kontrak ini sudah dimulai sejak sebelum Bapak Bambang Suponyono menjadi Kepala Desa Selorejo,” tegasnya.
Baca Juga: Hengkang dari Barcelona, Messi Dikabarkan Merapat ke Manchester City
“Sehingga tidak seharusnya sekarang saatnya mau panen malah diambil, ini belum kembali untungnya. Dan ini sudah menjadi tulang punggungnya masyarakat, sudah menjadi fokus ekonomi masyarakat untuk makmur,” tambanya.
Oleh sebab itu ia mempertanyakan sikap BUMDes yang ingin mengambil lahan dan tanaman jeruk tersebut, karena menurutnya tisak seusai dengan hakekat pendirian BUMDes. “Kan pendirian BUMDes untuk mensejahterakan masyarakat,” ujarnya.
Wiwid juga menegaskan jika petani jeruk tidak melolak adanya BUMDes selama dibangun dengan mekanisme yang benar. “Jadi ada asistensi dari kecamatan dan ada asistensi dari pemerintah daerah,” tegasnya.
“Di situ nanti harus melibatkan ide-ide dari masyarakat atau demokrasi. Tapi faktanya BUMDes masih dipimpin orang luar desa, ada apa ini,” lanjutnya.
Kemudian, mekanisme sosialisasi dan pembentukan BUMDes ternyata tidak melibatkan petani yang menggarap. “Padahal mereka pihak yang berkompeten dan pihak yang menggarap tanaman jeruk,” bebernya.
“Kemarin petani yang menggarap lalu dipidanakan, harapannya perkara ini selesai dan laporan pidana wbisa diselesaikan. Karena faktanya ini tanaman ditaman sendiri, dirawat sendiri dan diolah sendiri kok dipidanakan,” jelasnya heran.
Oleh sebab itu, ia berharap tidak hanya terkait penguasaannya, tapi segala hal yang terkait hak tanaman jeruk bisa selesai.
Sementara itu, Purwati selaku Ketua Kelompok Tani Sumberrejeki menunjukkan bukti kuitansi pembayaran bulan September 2019 pada awak media.
“Artinya habisnya September 2020. Yang satunya saya nggak punya kuitansinya karena memang gak pakai kuitansi, tapi satunya lagi ada yang 2018 ke 2019,” ujarnya.
Bahkan, ia mengungkapkan ada petani lain yang punya kwitansi sampai 2021 tapi masih digusur. “Saya yang megang itu, itu atas instruksi Kepala Desa tapi yang menerima memang Bu Anna,” pungkasnya.
Reporter: Rizal Adhi Pratama
Editor: Gigih Mazda