Psikolog Unair Surabaya: Pasangan Harus Berpikir Kritis sebelum Putuskan Childfree

Psikolog Unair.
Ilustrasi childfree menjadi pilihan bagi pasangan yang menginginkannnya. (Foto: Unsplash)

SURABAYA, Tugujatim.id Childfree masih terus menjadi perbincangan hangat di tengah-tengah publik. Tidak sedikit para influencer dan pakar memberikan pandangannya terkait keputusan tidak ingin memiliki anak dalam sebuah hubungan pernikahan ini. Salah satunya dari psikolog Unair Surabaya.

Di Indonesia sendiri, pembahasan childfree mulai menduduki papan trending kala seorang influencer Tanah Air yang tinggal di Jerman bernama Gita Savitri mengungkapkan keputusannya tidak ingin menjadi orang tua. Hingga saat ini, di kalangan warganet Indonesia keputusan childfree masih menuai pro-kontra.

Bahkan belakangan, perempuan yang akrab disapa Gitasav tersebut membalas salah satu komentar pengikutnya dengan mengatakan bahwa childfree dapat membuat awet muda.

Not having kids is indeed natural anti aging. You can sleep for 8 hours every day, no stress hearing kids screaming. And when you finally got wrinkles, you have the money to pay fot botox,” tulisnya.

Tidak membutuhkan waktu lama, ragam komentar pro-kontra langsung ramai menjadi perbincangan netizen. Menanggapi hal tersebut, dosen psikologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dr Nur Ainy Fardana menilai bahwa masyarakat harus bijak dalam menerima pilihan orang lain.

“Kami tidak boleh menghakimi pilihan seseorang karena hak untuk memiliki anak atau tidak merupakan pilihan pribadi. Terpenting, jangan mudah ikut arus dan masyarakat harus kritis,” kata Nur Ainy.

Bagi psikolog Unair ini, pasangan memutuskan untuk childfree tentu memiliki alasan tersendiri. Misalnya ingin fokus pada karir, hobi, trauma masa lalu, atau bahkan bisa saja berkenaan dengan masalah kesehatan yang dialami oleh pasangan.

“Terus bisa saja ada rasa takut memiliki tanggung jawab dan tidak dapat berkomitmen untuk menjaga seorang anak. Mungkin karena biaya hidup, takut anaknya mendapat ancaman kekerasan atau sebagainya,” ujarnya.

Nur Ainy menjelaskan, keputusan childfree memiliki dampak positif dan negatif. Pertama, dampak positif yang diterima pasangan yakni terhindar dari risiko penyakit, baik secara fisik maupun psikis. Kemudian, pasangan akan lebih fleksibel dalam menjalani kehidupannya karena tidak memiliki tanggung jawab dan tuntutan untuk menjaga seorang anak.

“Kedua, dampak negatifnya, tentu akan muncul rasa kesepian dan terisolasi karena tidak memiliki ruang untuk menyalurkan kasih sayangnya. Lalu tidak ada dukungan sosial maupun finansial ketika memasuki usia tua. Selain itu, tidak memiliki warisan genetik atau penerus ketika kelak kalau meninggal,” jelasnya.

Meski begitu, perempuan yang akrab disapa Neny tersebut berharap bahwa masyarakat yang ingin memutuskan untuk childfree harus melalui pemikiran yang matang dengan komunikasi secara intensif bersama pasangan.

“Pasangan harus bisa berpikir kritis. Mereka harus memikirkan secara betul bagaimana dampak negatif dan positifnya. Selain itu, mereka harus siap dengan berbagai tekanan yang diterima, baik dari masyarakat atau keluarga. Mengingat di lingkungan kita, keputusan childfree masih belum begitu lazim,” ujarnya.