JEMBER, Tugujatim.id – Membicarakan sosok Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau lebih akrab dikenal sebagai RA Kartini, tidak terlepas dari karya fenomenalnya berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang atau dalam bahasa Belanda, Door Duisternis Tot Licht.
Karya sastra tersebut, merupakan rangkaian dari surat-surat RA Kartini kepada sahabatnya di Belanda, Stella Zeehandelaar. Diterbitkan pada tahun 1911, setelah Kartini meninggal dunia di usia 25 tahun, umur yang terbilang masih muda.
Memuat sejarah melalui pemikiran wanita bangsawan Jawa, terabadikan perjalanan pergerakan emansipasi wanita Indonesia. Banyak makna tersirat dalam karya RA Kartini, yang dirangkai oleh JH Abendanon dan masih mendapatkan perhatian hingga saat ini, khususnya bagi kritikus sastra.
BACA JUGA: Kenal Lebih Dekat Tradisi Nikah Malem Songo di Tuban, Kerap Disebut Nikah Pemutihan
Salah satu pesan yang tersirat ketika membaca buku Habis Gelap Terbitlah Terang adalah ‘kebebasan’ berpikir bagi kaum perempuan. RA Kartini sangat menentang perjodohan, yang merupakan hal lumrah di kalangan bangsawan Jawa pada saat itu.

Pemikiran RA Kartini ini lah memunculkan upaya rekonsiliasi kedudukan perempuan kala itu, yang hidup di tengah budaya feodal patriarki. Kuatnya budaya patriarki yang disadari oleh RA Kartini tidaklah mudah untuk menempatkan posisi perempuan bebas dan mandiri.
RA Kartini harus melihat secara langsung, bagaimana kondisi perempuan saat itu. Terlahir dari seorang ayah Bupati Jepara yang memiliki dua istri bernama Raden Ayu dan Mas Ajeng Ngasirah (Ibu kandung RA Kartini).
BACA JUGA: Usia Ratusan Tahun, Masjid Agung Darussalam Mojokerto Pertahankan Bagian Bernilai Sejarah
RA Kartini kecil hingga dewasa harus melihat ibu kandungnya digantikan oleh Raden Ayu di lingkungan bangsawan. RA Kartini merasakan perlakuan berbeda dari Raden Ayu jika dibandingkan dengan saudara-saudaranya.
Tetapi, RA Kartini tidak pernah menyalahkan Raden Ayu, tersirat dalam kumpulan suratnya bahwa RA Kartini berusaha mengambil hati Raden Ayu yang semata-mata bukan karena dirinya, melainkan karena ibunya.
Dalam surat-surat RA Kartini, tersirat rasa ‘cintanya’ kepada ayah yang membuat dirinya tetap bertahan di kondisi sulit dan bertentangan dengan apa yang dipikirkan. RA Kartini juga menggambarkan bagaimana perlakukan ayahnya yang selalu mengabulkan permintaan anak-anaknya dan hanya satu permintaan yang tidak bisa diberikan, yaitu ‘kebebasan’.
Hal itulah, yang kemudian membentuk alasan kuat RA Kartini untuk memperjuangkan kebebasan dan persamaan atas hal seorang perempuan.
Di dalam masyarakat priyayi, stereotip terhadap perempuan menempatkan pada ranah domestik atau rumah tangga, sedangkan laki-laki memiliki kuasa atas seksualitas dan pergerakan perempuan.
BACA JUGA: Rekomendasi Wisata Kuliner di Jember, Rasakan Sensasi Makan Bak di Tepi Persawahan Bali Hingga Naik Kereta di Atas Danau
Masyarakat Jawa yang menganut budaya patriarki saat itu, memposisikan laki-laki lebih unggul dibandingkan perempuan, baik sektor publik maupun domestik, baik dalam bidang sosial maupun politik, yang membuat peran perempuan sangat terbatas.
Oleh karena itu, menginjak usia dewasa, RA Kartini masuk dalam keterasingan dunia. Perempuan priyayi Jawa menjadi rumah baginya dan membuat dirinya tidak diperkenankan keluar rumah tanpa seizin ayah dan didampingi oleh sanak saudara atau pembantunya.
Hal tersebut tersirat dalam kumpulan suratnya, bahwa RA Kartini telah kehilangan Kebebasan dan terisolasi dari dunia luar, yang membuat dirinya sangat sedih. Perasaan kecewa RA Kartini terhadap kedudukan perempuan yang dituangkan melalui surat-suratnya tersirat perasaan haru.
Tersirat dalam suratnya, RA Kartini menyatakan bahwa perlakuan jangka panjang kekuasaan laki-laki, membuat perempuan tidak lagi melihat penindasan dan ketidakadilan atas dirinya, melainkan menerima dan menyerahkan sebagai hak kodrati.
Kondisi yang dialami RA Kartini, membuatnya berusaha melakukan perlawanan, yang ia ungkapkan dengan jelas menyatakan bahwa dirinya tidak mampu melawan kekuasaan, bukan karena kuatnya adat istiadat dan budaya, namun juga karena perempuan itu sendiri yang mendukungnya.
Kekuatan dominasi budaya patriarki yang disadari RA Kartini, tidak serta merta membuahkan hasil yang instan. RA Kartini sadar betul dengan apa yang dilakukan akan menghadapi rintangan demi rintangan. Setidaknya, RA Kartini telah membuka jalan bagi orang lain melalui pemikiran-pemikirannya dalam kumpulan surat-suratnya Habis Gelap Terbitlah Terang. Selamat Hari Kartini, 21 April 2024.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Tugujatim.id
Reporter: Diki Febrianto
Editor: Darmadi Sasongko