TUBAN, Tugujatim.id – Tradisi pernikahan Malem Songo atau malam ke-29 bulan Ramadan telah berlangsung secara turun-temurun bagi umat Islam di Kabupaten Tuban dan sekitarnya. Malam tersebut dinilai sebagai hari baik dan bulan baik untuk melangsungkan sebuah akad pernikahan pasangan pengantin.
Kementerian Agama Kabupaten Tuban mencatat ratusan pasangan melangsungkan akad nikah pada Senin Kliwon tanggal 8 April atau malam 29 Ramadan. Hingga, Kamis, 4 April tercatat 303 Calon Pengantin yang mendaftarkan pernikahan.
“Kementerian Agama Kabupaten Tuban menyiapkan 29 Penghulu yang siap menikahkan 303 calon pengantin,” kata Mashari, Kasi Bimas Islam Kementerian Agama Kabupaten Tuban.
Pada malam tersebut diyakini banyak keberkahan yang terkandung sehingga tepat untuk melangsungkan pernikahan, selain kerap kali juga digunakan sebagai alternatif bagi pasangan yang terbentur hitungan weton atau kesulitan menentukan hari dan tanggal pernikahan.
Pernikahan malem songo dinamakan Ngebo Bingung artinya mencari atau memutuskan hari pernikahan dengan tidak lagi memakai perhitungan adat Jawa. Masyarakat memilih nikah malem songo karena memiliki keyakinan hari itu adalah hari pemutihan bagi pasangan yang tidak cocok wetonnya. Sementara jodoh tidak boleh dibatasi, sehingga pernikahan Malem Songo dianggap sebuah kearifan lokal yang memberikan jalan keluar.
“Malem songo merupakan malam ganjil terakhir pada bulan Ramadan, sehingga diyakini sebagai malam yang luar biasa. Kedua, pada malem songo banyak keluarga pengantin yang sudah mudik (berkumpul di kampung),” tandasnya.
Tidak dapat dipungkiri pernikahan Malem Songo merupakan bagian tidak terpisahkan pada ruang tradisi budaya masyarakat di Tuban dan sekitarnya. Pernikahan sendiri merupakan ajaran agama yang seyogyanya dijalankan dengan baik oleh umat Manusia.
Terlepas kemudian masyarakat Jawa memegang hitungan (weton) dalam menentukan tanggal dan bulan baik dalam melaksanakan sebuah pernikahan. Hitungan tersebut juga dalam rangka ikhtiar dan doa yang berakar pada tradisi dengan pengharapan agar pernikahan berjalan sebagaimana tujuan yang dicita-citakan umat manusia.
Sehingga memang pertemuan nilai ajaran agama dengan realitas tradisi budaya masyarakat sebagai sebuah keniscayaan dalam perjalanan sejarah. Pertemuan alkulturasi tersebut menjadi keunikan dan kekayaan tersendiri tanpa mencerabut akar kebudayaan dan nilai ajaran agama.
Jamal Ghofir, Dekan Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAI NU) NU Tuban, melihat bahwa pada dasarnya setiap hari dan bulan adalah baik dalam menjalankan hal-hal yang sudah diajarkan agama, termasuk pernikahan. Begitu juga dengan pernikahan malem songo, karena bulan Ramadan merupakan bulan penuh keberkahan, bahkan di akhir bulan Ramadan waktu diturunkanya Lailatul Qodar.
“Tradisi yang sudah berjalan dari dahulu, memang perlu dilestarikan. Bertemunya teks suci yaitu Alquran yang mengandung berbagai ajaran keislaman sebagai pegangan umat Islam dengan tradisi budaya masyarakat menjadikan masyarakat berkarakter moderat menerima perbedaan dalam keragaman atau yang lebih kita kenal dengan kearifan lokal (local wisdom),” kata Jamal Ghofir.
Pernikahan Malem Songo sebagai sebuah tradisi yang dilestarikan di masyarakat tidak terlepas dari teks-teks hadis yang melandasinya, seperti hadis tentang pernikahan Nabi dan Khadijah di bulan Syawal, hadis tentang keutamaan bulan Ramadan dan hadis tentang kemuliaan lailatul qadar.
Kendati demikian, Jamal Ghofir belum menemukan data apakah tradisi ini juga dipengaruhi oleh dakwah Para Wali, terlebih Sunan Bonang saat mensyiarkan Islam di kawasan pantai utara Jawa.
“Kaitanya dengan Sunan. Belum ditemukan data yang pasti,” tegasnya.
Reporter: Mochamad Abdurrochim
Editor: Darmadi Sasongko