BATU, Tugujatim.id – Sebanyak 22 seniman dari berbagai daerah menyuarakan keberpihakannya pada warga lewat sebuah pameran bertajuk “Kepada Tanah; Hidup dan Masa Depan Wadas, termasuk seniman Kota Batu. Hal ini adalah bagian dari suara seniman terkait konflik agraria yang tengah berkecamuk di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Pameran itu diselenggarakan secara maraton di 6 kota. Mulai dari Bali, Semarang, Jakarta, Bandung, Jogja, dan Kota Batu, Jawa Timur, tepatnya di Galeri Raos. Pameran itu digelar jejaring solidaritas Jogja berkolaborasi dengan 22 seniman dan warga Desa Wadas sejak 12-17 Februari 2022.
Pameran ini berupa karya dalam kemasan berisi biji kopi robusta Desa Wadas. Para seniman melukis langsung kemasan bagian depan dengan berbagai rupa dan warna. Sementara di sisi belakang kemasan terdapat teks berisi tentang keterangan singkat mengenai latar belakang kopi dan Desa Wadas.
”Seluruh karya seni ini dilelang mulai harga Rp400 ribu. Semua hasil lelang akan didonasikan untuk membantu aktivitas warga di sana yang kini tengah berjuang mempertahankan tanahnya,” ungkap Ahmad Kholili, salah satu perwakilan seniman Kota Batu saat ditemui pada Senin (14/02/2022).
Dia mengatakan, pameran ini mengambil objek utama kopi Wadas, mengingat kopi adalah sumber penghasilan utama warga Desa Wadas. Dia melanjutkan, biji kopi ini dirawat, dipanen, dan diolah warga Desa Wadas secara turun-temurun oleh petani sejak ratusan tahun lalu. Namun, sejak 5 tahun terakhir, kehidupan dan segala aktivitas warga di sana mulai berubah karena lokasi perbukitan masuk dalam lokasi rencana penambangan untuk material Bendungan Bener.
Dalam dokumen amdal, penambangan untuk material Proyek Strategis Nasional (PSN) itu akan menggunakan metode blasting (peledakan) dinamit sebanyak 5.300 ton selama 30 bulan. Penambangan tersebut akan menjarah 15,53 juta meter kubik batuan andesit pada lahan seluas 114 ha dengan kedalaman 40 meter.
Menanggapi hal itu, warga menolak dan berupaya menggagalkan rencana tersebut dengan berbagai cara. Namun, semua upaya itu menemui jalan buntu. Bahkan, sejumlah warga dan tokoh di sana mendapatkan intimidasi hingga kekerasan langsung. Seperti yang terjadi dalam peristiwa 23 April 2021 di Desa Wadas.
”Warga tetap bertahan dan menolak pergi dari tanah mereka, meski kemudian banyak dari mereka (tokoh masyarakat, red) kemudian ditangkap. Kami sebagai seniman ikut prihatin dan bersolidaritas,” ujar Kholili.
Selain seniman Kota Batu menggelar pameran, Kholili melanjutkan, nanti juga akan digelar diskusi membahas isu-isu konflik agraria untuk memperluas napas gerakan kepedulian dan keselamatan lingkungan. Rencananya, diskusi akan digelar pada 16 Februari 2022.
”Kami meyakini Wadas bukan satu-satunya ruang hidup yang mengalami ancaman. Kami berharap dari ini tidak ada lagi konflik-konflik agraria terjadi di daerah lain,” ujarnya.
Harapan senada dikatakan seorang pengunjung, Indri Dwi, 22, yang menyayangkan atas terjadinya konflik agraria yang bukan kali pertama terjadi. Sebagai anak muda, dia ingin agar konflik tanah ini bisa diselesaikan dan ditangani dengan baik, bukan dengan intimidasi dan kekerasan.
”Sebaiknya masalah-masalah di Wadas ini bisa segera diselesaikan dan ditangani dengan baik. Gak usah pakai kekerasan dan intimidasi gitulah,” ucapnya.
Untuk diketahui, dalam kegiatan ini juga dipamerkan sebuah tulisan panjang di tembok galeri. Isinya kronologi dan penjelasan terkait sepak terjang perlawanan warga Desa Wadas. Pesan pameran ini ditutup dengan manis lewat coretan “Tanah adalah daging, air adalah darah dan batu adalah tulang”.