Tugujatim.id – Salman Subakat. Seorang teman saya yang dua kali mengikuti sharing dengannya, mengaku heran. ”Saya membayangkan karena CEO perusahaan besar, beliau akan formal, pakai jas, bicaranya menggebu-gebu, ternyata tidak,” katanya. ”Santai,” imbuhnya.
Salman Subakat tampaknya pengecualian dari sejumlah hal yang lazim. Salman bukan seorang orator ulung. Bukan pula CEO yang parlente. Dia bukan seorang bos, yang sering diimajinasikan sebagaimana yang ada di sinetron-sinetron.
Tampaknya, televisi juga mencuci otak kita soal seperti apa itu bos. Seperti apa pembantu. Salman, lebih senang memosisikan orang lain dengan setara. Karena Salman Subakat senang sharing, dan sharing akan plong jika orang lain merasa setara.
Sekali lagi, Salman Subakat adalah pengecualian dari sejumlah hal yang lazim. Dia tidak jarang beli mobil bekas. Pengakuan ini diperoleh saat saya dan tim dipinjami mobilnya untuk keliling Jakarta. Nissan Serena.
Pengakuan itu dia ucapkan secara spontanitas di depan Rumah Wijaya, Jakarta, setelah sesi sharing dengan Salman.
”Wah, nanti ditulis ini, sultan, beli mobil bekas,” kata Salman, lalu terkekeh.
Tak hanya senang beli mobil bekas, dalam beberapa kegiatan dia sering datang dengan menyetir mobil sendiri. Seperti saat dia datang ke Rumah Wijaya waktu itu. Dia menggeber mobil hitamnya sendirian. Tak tahu, mobil itu, mobil bekas juga atau tidak yang dibeli Salman.
Salman memang sultan. Dia adalah CEO PT Paragon Technology and Innovation, perusahaan yang membawahi sejumlah brand yakni Wardah, Kahf, Emina, Makeover, Tavi, Biodef, dan sejumlah brand lain. Total karyawannya sekitar 11 ribu. Salman adalah generasi kedua. Paragon didirikan oleh ibunya Nurhayati Subakat. Sang ibu, kalau saya melihat, menjadi mentor “hati” bagi seorang Salman.
Kebaikan Salman kepada anak-anak muda yang berada dalam ekosistem Paragon, adalah bagian dari hati yang ditularkan dari sang ibu itu. Untuk urusan thinking dan bagaimana mengelola perusahaan, tampaknya Salman lebih banyak dipengaruhi ayahnya, Subakat Hadi.
Salman dalam sebuah obrolan, dia membahas soal pentingnya coach atau panutan dalam hidup seseorang. Entah itu panutan dalam hal bisnis, karir, keluarga, dan lain sebagainya. Karena obrolan itu membahas soal panutan, saya lantas bertanya siapa panutan Salman. Dia menyebut sejumlah orang. Salah satunya adalah bapaknya, Subakat Hadi.
Salman mengatakan, kalau kita kagum dengan orang lain, kita harus tahu, orang lain itu mentornya siapa. Buku bacaannya apa. Kebiasannya apa. Dan lain-lain.
Ketika Salman membahas soal mentor itulah, membuat saya berpikir. Ternyata, begitu banyak orang yang saya kenal, tapi tidak banyak yang begitu dekat, sehingga orang itu sulit disebut mentor bagi saya. Kata kuncinya kurang intim.
Salman mengajar bukan mendikte. Dia membuat orang lain berpikir. Dan merefleksikan, apa yang kurang maksimal dari diri kita sendiri. Salman tidak memberi kesimpulan. Juga tidak suka memerintah. Dia lebih suka, memancing orang lain untuk berpikir. Ya, mungkin, itulah keahliannya sebagai seorang coach.
Berpikir Terus
Soal berpikir, Salman memang sangat suka berpikir. Hari-harinya diisi dengan berpikir, belajar, dan bekerja. Mari kita bedah satu-satu, kenapa saya secara subjektif menyebut Salman seorang yang berpikir, belajar, dan bekerja terus.
Soal berpikir, saya dapat cerita langsung dari orang terdekatnya, yakni istrinya, Mbak Dini Ardi. Di sela-sela pelatihan Neuro Linguistic Programming (NLP) di Jakarta beberapa waktu lalu, saya bertanya soal kebiasaan Salman.
Dengan yakin, Dini menyebut kalau Salman sangat suka berpikir. Pagi, siang, sore, dan malam diisi dengan berpikir. Lalu, hasil pikirannya itu didistribusikan kepada timnya.
Karena terlalu banyak berpikir, Salman kadang lupa terhadap hal-hal sederhana. Misalnya di mana kontak mobilnya. Di mana tasnya. Mungkin, sudah mandi atau tidak, Salman juga lupa.
”Soal hal-hal yang short memory, dia suka lupa banget,” kata Dini.
Belajar. Salman jagonya soal belajar. Saya mengamati saat di acara NLP, selama tiga hari. Salman selalu berada di kursi depan. Menurut Mas Rico dari Pondok Inspirasi, Salman sangat senang ikut workshop dan coaching. Di Paragon Corp, minimal sebulan sekali selalu ada proses belajar. Dan Salman selalu ikut. Lalu, bekerja.
Dalam sebuah kesempatan, menjadi seorang pengusaha kata Salman, harus siap kerja, 40 jam dalam sehari. Artinya, setiap saat harus bekerja.
”Pagi-pagi saya sudah bekerja, chatting dengan tim,” kata Salman.
Dalam bekerja, Salman mengibaratkan dengan orang bermain bola. Jika ada orang hobi bermain bola, dan bisa menghasilkan, kenapa kita tidak juga menjadikan bekerja sebagai hobi.
Tampaknya, tiga hal yang selalu dilakukan Salman itu membuat dia menjadi salah seorang motor penggerak yang membesarkan Paragon Corp. Saat dia bergabung dengan Paragon pada 2002 silam, karyawan Paragon Corp masih sekitar 300-400 orang.
”Waktu itu merasa terpanggil saja, ketika kuliah, saya dibuat enak dan terjamin karena ada perusahaan ini, makanya kayaknya saya lebih bermanfaat kalau ikut bantu perusahaan,” katanya.
Salman Subakat dan Gus Dur
Berpikir terus, membuat Salman kadang sulit dimengerti maunya oleh orang-orang di sekitarnya. Kesimpulan dangkal ini, saya peroleh dari sejumlah orang yang sering berinteraksi dengan Salman.
Layaknya filosof yang kadang kebenaran versi mereka “mendahului” zamannya, itulah yang dirasakan orang-orang yang berinteraksi dengan Salman. Salah satunya soal strategi Wardah, mendekati komunitas-komunitas hijabers waktu itu. Menurut Salman, ini potensi yang luar biasa. Langkah Salman waktu itu banyak disangsikan oleh orang-orang Paragon.
”Eh, ternyata benar, hijabers meledak dan menjadi tren, dan ini mengangkat betul terhadap Wardah,” kata Ekosiswati, salah seorang karyawan Paragon Corp.
Ada lagi cerita soal Rumah Wijaya. Sebuah tempat di kawasan elite di Jakarta yang disewa Salman. Waktu itu, banyak yang menyangsikan apa niat Salman menyewa rumah itu. Sekarang mulai terjawab. Rumah Wijaya sering disewa oleh kalangan menengah ke atas untuk berbagai kegiatan.
”Ohh ini maksutnya Pak Salman waktu itu, yang dulu gak ada yang terbayang. Ternyata bisa ya tempat seperti ini disewakan, menjadi alternatif lain selain hotel,” kata Omar, salah seorang pengelola Rumah Wijaya.
Pikiran-pikiran Salman sering sulit dipahami oleh orang lain. Bahkan, kadang meloncat-loncat. Bagi sebagian orang, dia seperti Gus Dur, Presiden Republik Indonesia (RI) keempat. Pikirannya melampaui zamannya.
Atau di kalangan pesantren, orang seperti Salman dan Gus Dur, biasa disebut sebagai jadzab. Yakni, orang yang bertindak di luar kewajaran, berbeda dengan teman sebayanya. Jadzab ada yang menyebut sebagai sebuah kelebihan bawaan dari seseorang. Karena inilah, makna jadzab secara harfiah adalah jadzab yang berarti menarik, memikat, menawan hati. Orang jadzab bisa dibilang mempunyai tiga kriteria tersebut.
Salman Subakat University
Salman Subakat senang membina anak-anak muda dari lintas profesi dan keahlian. Umumnya, mereka bergerak yang linier dengan dua hal ini yakni pendidikan dan kepemimpinan.
Sejumlah lembaga yang dibina Salman itu, di antaranya pemimpin.id, Pondok Inspirasi, Ganara Art, Rumah Wijaya, Maxima, Semua Guru Semua Murid, Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP), Rumah Amal Salman, Improva, dan lain sebagainya.
Dalam sebuah obrolan chatting, Salman menyebut beberapa nama dari pimpinan lembaga itu untuk terus didorong untuk menjadi tokoh yang memberi dampak. Kolaborasi adalah ruh dari sejumlah lembaga yang menjadi satu konsorsium. Dan kolaborasi, hanya bisa didapat jika kita berhati bersih. Saling support dan senang ketika orang lain sukses.
Muara dari konsorsium ini, tentu saja adalah majunya pendidikan di Indonesia. Selain dari konsorsium, Salman juga bergerak melalui institusi yang dia pimpin yakni PT Paragon Technology and Innovation yang banyak membuat kegiatan dalam rangka memajukan pendidikan tanah air.
”Enggak akan ada perusahaan yang sangat besar di Indonesia, yang kayak Toyota, kalau pendidikan di Indonesia tidak maju. Sulit sekali kita (bisa) punya Google-nya Indonesia, Toyota-nya Indonesia, perusahaan-perusahaan besar di Indonesia, kalau pendidikannya tidak maju,” kata Salman, dalam suatu perbincangan dengan belasan wartawan peserta Fellowship Jurnalisme Pendidikan yang digelar oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GJPP), pada medio Maret 2021.
GWPP lahir juga atas dasar ide serta inisiasi oleh Salman Subakat. Ide itu lantas diterjemahkan dengan sangat baik oleh Pemimpin Redaksi Tugu Media Group Noercholis MA Basyari yang menjadi Direktur Pelaksana GWPP. Begitu banyak orang yang di-support oleh Salman. Bahkan, ada adagium, sejumlah konsorsium tersebut merupakan perwujudan dari Salman Subakat University.
Ya, Salman adalah pengecualian dari sejumlah hal yang lazim.