Oleh: Rangga Aji*
Sepasang mata itu menoleh ke kanan dan kiri. Mengamati bingkai yang menempel di dinding sudut-sudut ruang kantor Tugu Media Group Jalan Dirgantara A1/12B Kedungkandang Kota Malang. Namanya, Pram, mahasiswa Universitas Brawijaya (UB). Dia sosok yang begitu vokal saat Kongres Nasional Ke-15 Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Pamekasan, Madura.
Sedangkan, di depanku ada Rifki, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Berangkat dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Didaktik, sekaligus mengisi Badan Pekerja (BP) Media di PPMI Kota Malang. Rifki juga menjadi sosok penting dalam berbagai gerakan di beberapa kota. Bercakap-cakap dengannya dari pagi sampai pagi pun, tidak pernah kehabisan topik obrolan.
Ada juga beberapa nama seperti Hanif, Nisa, Vian, Epak, dan Devina. Mereka ada yang dari Unisma, Unitri, UB, UMM, dan lain-lain. Ada sekitar 7 orang dari PPMI Kota Malang. Selain dari Malang sendiri, ada juga Lembut, mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, dia Ketua Komisariat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Fakultas Ilmu Budaya (FIB).
Malam itu, membuatku teringat kembali momen-momen kebersamaan yang sempat hilang. Momen yang menjadi kerinduan, aku pikir tidak pernah bisa ku dapatkan lagi. Tapi, hadirnya teman-teman PPMI Kota Malang membuatku bisa ‘mendapatkan’ kembali pekik semangat yang berapi-api di dalam dada pemuda seperti kita.
Agendanya memang silaturahmi saja, temu kangen dan mengobrol santai. Ketimbang tidak ada topik yang dibahas, jadi aku melemparkan ke dalam forum sebuah pertanyaan sederhana, tapi bakal bisa memantik diskusi panjang dan cukup untuk bahan obrolan semalam suntuk. Aku yakin, setiap kampus pasti punya isu-isu menarik yang bakal mereka ceritakan.
Apalagi Mas Rizal, Wartawan Tugu Malang ID yang bertugas di Kabupaten Malang mendapat penugasan Fellowship Jurnalisme Pendidikan (FJP) Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) dari Pak Nurcholis selaku Direktur FJP GWPP. Untuk meliput secara ‘depth news‘ dan ‘indepth reorting‘ isu-isu yang berkaitan dengan pendidikan. Awalnya, Mas Rizal ingin fokus mengangkat soal ‘Kampus Merdeka’.
“Kira-kira, isu apa yang lagi hangat dan menjadi fokus perhatian teman-teman di kampus? Bisa diceritakan ya, bergantian,” tanyaku.
Kemudian, Rifki dari UMM menyahut dan membuka isu-isu di kampusnya. Ada yang berkaitan dengan pola belajar ‘hybird’ atau gabungan antara Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan Pembelajaran Tatap Muka (PTM). Selain itu, dia juga cerita soal jurnal penelitian mahasiswa UMM yang harus terindeks layanan ‘database’ jurnal tingkat nasional atau internasional. Ada lagi soal mahasiswi yang tidak berhijab, disarankan oleh salah satu dosen untuk mewarnai rambutnya saja menjadi kuning, memang agak ‘mind blowing’ ya.
Lalu, mahasiswa Unitri dan Unisma pun ikut unjuk gigi. Ada Hanif, Vian dan Nisa. Mereka menyampaikan isu kampus yang berkaitan dengan kebijakan rektorat untuk memberi kewajiban satpam kampus memakai sarung dan peci di setiap hari Jumat. Jujur, ini merupakan salah satu isu yang lumayan menghibur dan mencairkan forum. Mas Rizal pun tampak mengangguk-angguk dan tersenyum, sambil aku membayangkan ada lampu di atas kepalanya yang menyala bagai orang yang menemukan ide.
Lalu, bergeser ke Epak. Dia bercerita soal isu-isu yang berkaitan dengan budaya orang NTT. Entah di dalam kampus Unitri, di lingkup Kota Malang atau di kampung halamannya sendiri. Yang menarik dari isu yang disampaikan Epak ini, ada semacam pola budaya sendiri yang dimiliki orang-orang NTT. Entah terlibat di komunitas motor, atau hal-hal lain yang berkaitan dengan ‘shock culture’. Yang paham banyak soal ini Mas Rizal, Mas Dicky dan Mas Azmy, karena berkaitan sama Kota Malang.
Mas Dicky, ‘Designer’ Tugu Media Group juga ikut memantik berbagai topik yang berkaitan dengan cerita-cerita mereka. Banyak sekali yang mereka bahas mengenai Malang, aku sedikit lupa apa saja. Sedangkan Mas Ulul Azmy Wartawan Tugu Malang ID yang bertugas di Kota Malang berupaya menjawab pertanyaan dari Nisa mahasiswi LPM Fenomena Unisma. Tentang mengapa media arus utama ada yang melakukan ‘click bait’? Mas Azmy pun menjawab dengan lengkap dan panjang lebar. Hingga Nisa mengangguk-angguk tanda memahami jawaban dari Mas Azmy.
Obrolan lalu disambung oleh Lembut, dia cerita soal gejolak organisasi dan isu-isu terhangat yang ada di Unair Surabaya. Mengenai HMI di kampus dan berbagai topik-topik ringan lain yang menjadi percakapan hangat di forum malam itu. Banyak yang kami bahas, aku melihat potensi-potensi mereka yang begitu luas dan dalam. Mengenali betul berbagai demografi persoalan di kampus dan Kota Malang. Aku membayangkan, bagaimana hebat dan melesatnya Tugu Media Group apabila berhasil memberdayakan pemuda-pemudi seperti mereka.
When it rains, it pours…
There will be blood in the water…
Cold to the core…
Faith falls hard on our shoulders…
This is our time…
No turning back…
We could live, we could live like legends…
This is our time…
No turning back…
We could live, we could live like legends…
*Penulis adalah Pewarta Tugu Jatim ID area Surabaya