Tugujatim.id – Mari kita awali dengan mendoakan semoga jalan penyair Joko Pinurbo ke alam sana terang. Aamiin. Penyair penting Indonesia ini pergi hanya satu hari sebelum Hari Puisi Nasional, hari puisi khusus Indonesia yang tanggalnya diambil dari hari kematian penyair Chairil Anwar.
Mulai hari ini dan seterusnya, kita hanya bisa berhubungan dengan Joko Pinurbo dalam puisi-puisinya. Yang beruntung sempat kenal personal dengan beliau atau bahkan sering bertemu berbincang-bincang mungkin punya akses kepada kenangan tentang pribadi dan pikiran Jokpin.
Oh ya, penyair yang lekat dengan Yogyakarta ini menyebut dirinya sendiri Jokpin. Setidaknya begitulah dia menandatangani emailnya. Saya tidak pernah bertemu muka dengan Jokpin, tapi pernah berhubungan via email beberapa kali. Ada setidaknya tiga momen korespondensi saya dengan Jokpin.
Korespondensi pertama adalah saat saya menerjemahkan “Celana, 1” untuk keperluan pembuatan portofolio terjemahan sebagai syarat melamar kuliah S2. Saya juga perlu menanyakan detail ketika harus menerjemahkan puisi itu. Momen kedua adalah ketika saya meminta izin menggunakan terjemahan “Celana, 1” untuk acara Petik Puisi di Tepi Danau Zug. Terakhir, adalah ketika saya minta izin sebelum mengirimkan terjemahan beberapa puisi Jokpin untuk Alchemy, A Journal of Literary Translation, sebuah jurnal penerjemahan sastra yang dikelola mahasiswa pasca sarjana University of California San Diego.
Saya beruntung Jokpin langsung memberikan izin untuk penerbitan penerbitan beberapa karya itu. Terjemahan “Celana, 1” sudah pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling dan bahkan sudah dalam bentuk buku ketika saya baru mulai menerjemahkan.
Untuk puisi-puisi lainnya yang saya terjemahan, waktu itu sejauh saya tahu belum pernah diterjemahkan. Puisi-puisi yang saya maksud adalah “Keranjang”, “Keringat”, “Batu Hujan”, “Hujan Kecil”, dan “Airmata”. Saya mengambil puisi-puisi pendek itu dari blog Jokpin.
Saat ini, blog tersebut sudah tertutup untuk publik dan hanya bisa diakses orang-orang yang pernah diundang (saya sudah tidak bisa lagi mengaksesnya). Untuk membaca teks asal beberapa puisi ini, silakan mampir ke blog saya ini.
Pants, 1
He wants to buy new pants
to wear to the party,
to look good
and convincing.
He’s tried a hundred styles
at various clothing stores
but has never found a pair
that fits.
In front of salesclerks
who swarm around him hawking
he even rips them off
and throws them aside.
“Don’t you people know
that I’ve been looking for pants
that suit me best
for frequenting the graveyard?”
Then he runs,
pantsless,
searching for his mother’s tomb
only to ask her:
“Momma, where do you keep those cute pants
I used to wear as a baby?”
(1996)
Basket
She weaves a basket
from threads of rain
then hangs it at the porch.
Inside the basket
he lays her baby, born
from the womb of dusk.
When nights thirst light
the baby in the basket glows
and the basket at the porch
swarms with loneliness.
Sweat
Each single day, my dad collects
his beads of sweat in a bottle
and stashes it in the fridge.
When I run a fever,
My dad will pour his well-chilled sweat
into a glass, for me to drink.
Glug. Glug. Sucker gone.
Rain Stone
Before the dawn the old man leaves
his nightly sleep, and slips into
a giant stone in his front lawn.
Inside the stone he finds
a clear and bluish chunk:
the heart of rain,
nurtured by time,
well-aged.
Small rain
Rain grows on my head.
This rain refreshes time.
It sprinkles small drops.
It trickles tiny ticks,
with tiny thunderbolts.
The rain from when I was small.
Tears
Allow the thirsty rain
to swallow brimming tears
that simmer in your cup.
Penulis: Wawan Eko Yulianto, Penerjemah, Penulis dan Dosen Sastra Inggris Universitas Ma Chung