BATU, Tugujatim.id – Dulu, Kota Batu, Jawa Timur, terkenal sebagai Kota Apel karena apel menjadi komoditas pertanian terbesar di sana. Namun, kondisinya jauh berbeda dibanding sekarang. Produksinya terus menurun dan banyak petani apel yang beralih tanam ke komoditas jeruk karena lebih menjanjikan.
Meski begitu, bukan berarti tak ada lagi petani apel. Banyak juga petani yang masih rela bertahan untuk menanam apel. Bahkan dengan alasan menjaga warisan citra Batu sebagai kota apel, mereka terpaksa bertahan dengan berbagai macam cara, meski itu tidak menguntungkan sama sekali.
Terbaru, Pemkot Batu berpikir keras menanggapi keluhan petani apel. Pj Wali Kota Batu, Aries Agung Paewai menuturkan bahwa dalam waktu dekat akan segera duduk bersama dengan para petani apel. Untuk memformulasikan kebijakan dan strategi untuk membuat komoditas apel kembali juara.

Salah satunya adalah lewat peningkatan daya saing dengan cara memperluas pemasaran buah apel. Sebelum ke situ, harus ada perbaikan dulu pada tahapan budi daya dari kalangan petani.
Diketahui, minat petani di Batu terus merosot, Ini terlihat dari berkurangnya lahan budi daya apel dari tahun ke tahun. Data pada 2015, luas lahan apel mencapai 1.768,27 hektar. Namun terakhir pada 2022, hanya tersisa 1.092 hektar.
Terlepas dari permasalahan mendasar yang ikut mempengaruhi produktivitas apel, kualitas apel di Batu sebenarnya punya daya saing tinggi. Ada empat varietas apel yang dibudidayakan di Batu, yakni apel manalagi, rome beauty, anna, dan wangling.
“Melihat itu, buah kita lebih bagus. Saya kira apel kita harus lebih kompetitif. Perlu dipikirkan strategi pendistribusian dan pemasaran. Selain itu juga perlu kerja sama antar desa,” ucapnya.
Selain itu, untuk pengenalan kualitas apel juga membutuhkan pemetaan untuk mengedepankan produk unggulan tiap-tiap desa, Diharapkan dari sana bisa menarik minat wisatawan berkunjung ke Batu dan termasuk mengenal apel.
Sementara, saran berbeda datang dari Penyuluh Pertanian Kecamatan Bumiaji, Abdul Komar, bahwa selain perbaikan unsur tanah dan kemudahan akses pupuk organik, apel Batu juga perlu memperbanyak varietas apel.
Dia juga menyampaikan, menurunnya kualitas apel di Batu turut disebabkan karena minimnya jumlah varietas. Untuk itu, penelitian-penelitian perlu dimasifkan untuk memunculkan varietas-varietas baru. “Kami berharap ada varietas-varietas baru apel Kota Batu, di samping juga mendapatkan kemudahan memperoleh pupuk organik untuk memperbaiki kualitas tanah,” harapnya.
Petani apel, Utomo juga berharap Pemkot Batu bisa serius melakukan intervensi. Mengingat biaya obat tanaman apel yang menembus angka Rp30 juta per musim atau selama enam bulan. Sementara, hasil panen hanya berkisar di angka Rp24 juta. ”Itu belum pas harga di pasaran turun lho. Kita itu gak mungkin jual mahal juga,” bebernya.
Sebagai solusi, pihaknya menyarankan agar Pemkot Batu bisa menyediakan fasilitas cold storage khusus untuk petani apel. Fasilitas ini merupakan solusi untuk menjaga buah agar tidak cepat busuk.
Bicara soal cold storage, sebenarnya Pemkot Batu telah berencana untuk menghadirkannya. Hanya saja, informasi yang dia dengar, kapasitas cold storage itu hanya berkisar 3 ton. ”Ya gak cukup, apalagi yang pakaikan banyak, gak cuma petani apel saja,” terangnya.
”Kalau dihitung kasar, untuk menampung hasil petani apel di sini itu harusnya berkapasitas sampai 50 ton. Kalau 3 ton? Untuk menampung hasil sekali panen saja gak cukup,” imbuhnya.
Begitu juga dari sisi penjualan juga harus ditangani pemerintah. Dengan begitu, petani apel bisa lebih fokus untuk menjaga kualitas produknya. Baik menjaga kualitas apel sampai mengembalikan kondisi tanah.
”Kami berharap usulan ini bisa didengar serius oleh pemerintah. Ini juga demi mempertahankan ikon kota batu sebagai ikon wisata dengan buah apelnya,” pungkasnya.