MALANG, Tugujatim.id – Politik dinasti dan dinasti politik viral belakangan ini. Terlebih setelah politikus PSI Ade Armando mengeluarkan pernyataan tentang dinasti politik di Yogyakarta yang berbuntut unjuk-rasa dan pelaporan ke polisi. Tak pelak, kegaduhan ini memancing sosiolog yang juga dosen filsafat asal Kota Malang, Sakban Rosidi angkat bicara.
Saat diwawancarai Tugu Jatim, Sakban menjelaskan dua istilah ini secara jelas, politik dinasti dan dinasti politik, yang sama sekali berbeda pengertiannya.
“Politik dinasti itu abuse of authority. Penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan legal. Pemegang otoritas publik telah menyalahgunakan kekuasaan atau pengaruh untuk melanggengkan kekuasaan, termasuk mewariskan, memudahkan, atau mengistimewakan orang dekatnya,” terang Sakban, Jumat (08/12/2023).
Sakban lalu melanjutkan tentang perbedaan politik dinasti dan dinasti politik.
“Itu beda sama sekali dari dinasti politik. Ini kan sederhananya keluarga politisi. Para para anggota keluarga dinasti politik sejak kecil dibiasakan dengan dunia politik, dan bahkan dilatih secara alamiah hingga bisa berkarir sebagai politisi. Jadi yang ada mirip proses pengkaderan politik dalam keluarga, tanpa ada penyalahgunaan wewenang, tanpa pelanggaran dan manipulasi konstitusi,” tegas Sakban.
Politik dinasti, Sakban melanjutkan, itu bagian dari korupsi politik. Nah, korupsi politik adalah bagian dari korupsi. Jadi korupsi itu bisa bertujuan kekayaan, bisa pula kekuasaan. Korupsi politik adalah apa pun pelanggaran hukum yang bertujuan kekuasaan.
“Jadi jelas kan, kalau keistimewaan DIY itu bukan politik dinasti. Tidak ada penyalahgunaan kewenangan, dan juga tidak ada pelanggaran konstitusi,” imbuh Sakban.
Dua varian utama korupsi politik adalah politik uang (money politics) dan politik patronase (patronage politics). Parahnya, dari politik uang saja tersirat ajakan dan ajaran yang merusak integritas dan moralitas. Seperti ajakan terima uangnya, tidak mencoblos calonnya.
“Ajakan terima uangnya tapi jangan dicoblos saja ada dua kesalahan yang dilanggar. Terima uangnya berunsur terima urang haram, mirip gaji buta. Lalu jangan coblos calonnya, jelas mengajak masyarakat berlaku khianat. Heran saya. Kok bisa-bisanya para pejabat publik negeri Pancasila ini bernalar seperti itu?” beber Sakban.
Sementara dengan pendekatan sosiologis, politik dinasti menjadi bagian dari politik patronase. Dalam politik patronase sendiri terdapat beberapa varian, seperti politik dinasti, politik nepotisme, serta politik kroni. Semua ini terjadi sebab favoritisme.
Pasalnya ketika penguasa memfavoritkan anak, maka yang terjadi adalah politik dinasti. Bila favoritisme berjalan untuk mendukung keluarganya, maka yang terjadi adalah nepotisme. Sementara politik kroni terjadi bila penguasa memberi karpet merah kepada kenalan atau teman dekatnya untuk meraih tujuan tertentu.
“Maka untuk melawan politik dinasti itu harus menegakkan sistem politik merit atau meritokrasi. Hal itu di mana penghargaan dan jenjang karir politik didasarkan pada prestasi, bukan hubungan keluarga, kerabat, dan komplotan,” ujar Sakban.
Walau varian-varian korupsi politik sulit diungkap dan dibuktikan secara hukum, Sakban melanjutkan, para ahli ilmu politik sepakat bahwa daya rusak korupsi politik jauh lebih hebat.
“Dampak kerusakan (korupsi politik) jauh lebih hebat, lebih luas serta berumur lebih panjang dibanding korupsi yang berorientasi pada kekayaan,” tegas Sakban.
Secara tegas pula, Sakban melanjutkan bahwa viralnya istilah politik dinasti dan dinasti politik terjadi karena para akademisi yang sering muncul di televisi dan media online, tak lagi punya tradisi belajar serius. Mereka terus saja bicara, tanpa memeriksa ulang apa yang dibicarakan.
“Hasilnya, kalaupun bukan post-truth, ya semacam scientific misconception, dengan muara kesesaran penalaran (fallacies in reasoning). Ranah kepentingan akademisi itu kebenaran. Sebisa mungkin menghindari kesalahan dan kekeliruan. Jangan berperangai seperti politisi, yang memang ranah kepentingannya adalah kekuasaan,” imbau Sakban.
Dengan moto ringkas, terpelajar berarti cermat mengindera, lurus bernalar dan jernih berbahasa, dia mengingatkan agar para akademisi dan pendidik, tidak serampangan mengeluarkan pernyataan.
“Harus jadi pelita di tengah gulita dan galau bangsa,” katanya.
Sebagai penutup, Sakban sekaligus mengingatkan kembali perbedaan antara politik dinasti dan dinasti politik.
“Ingat ya? Politik dinasti dan dinasti politik itu seperti biru laut dan laut biru. Biru laut itu warna. Kalau laut biru, itu laut. Dinasti politik itu dinasti. Politik dinasti itu korupsi. Jadi, stop bicara dinasti politik sebagai politik dinasti! Menyesatkan!,” tutup Sakban.
Writer: Hanif Nanda Zakaria
Editor: Dwi Lindawati