Tugujatim.id – Hujan merupakan peristiwa alam bagian dari siklus hidrologi. Selain membawa manfaat, hujan juga bisa menjadi kendala bagi masyarakat saat berkegiatan di luar ruangan. Seperti kita ketahui, Indonesia memiliki beragam tradisi dan kearifan lokal. Tak hanya ritual memanggil hujan, ada pula tradisi penangkal hujan lho. Apa sajakah? Simak penjelasan berikut ini!
1. Pawang Hujan di Kecamatan Tualang, Siak
Melansir dari artikel yang berjudul Kepercayaan Masyarakat Terhadap Ritual Memindahkan Hujan di Kecamatan Tualang Kabupaten Siak karya Sintia Kurnia, masyarakat Kecamatan Tualang, Siak memiliki tradisi memindahkan hujan menggunakan jasa pawang hujan. Ritual memindahkan hujan ini menggunakan 7 buah cabai merah, 1 mangkuk garam, dan 7 buah paku.
Pertama-tama, pawang hujan memotong cabai merah menjadi 7 bagian. Kemudian, potongan cabai merah ditaburkan ke atas atap tuan rumah, tenda pentas, dan atap rumah di sekitar lokasi hajatan. Setelah itu, semangkuk garam diletakkan di pinggir halaman tuan rumah dan tidak boleh terkena air. Sementara paku ditancapkan di halaman rumah.
Ritual penangkal hujan ini biasanya dilaksanakan H-1 acara dan dilakukan di tempat digelarnya acara. Biasanya masyarakat Kecamatan Tualang memanfaatkan pawang hujan dalam acara pernikahan, kegiatan PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga), agenda MTQ ( Musabaqah Tilawatil Quran), dan kampanye politik. Bahkan, masyarakat setempat memercayai bahwa pawang hujan sebagai perantara kesuksesan acara, upaya pengendali cuaca, dan pereda kecemasan batin masyarakat yang akan menyelenggarakan kegiatan. Mau coba cara penangkal hujan ini?
2. Tradisi Nyarang Hujan di Cimanuk, Pandeglang, Banten
Masyarakat muslim di Cimanuk, Pandeglang, Banten, memiliki tradisi Nyarang Hujan atau menangkal hujan. Tradisi ini ternyata memiliki banyak versi tergantung pawang hujan yang menangani.
Melansir dari artikel yang berjudul Tradisi “Nyarang Hujan” Masyarakat Muslim Banten (Studi di Kecamatan Cimanuk Kabupaten Pandeglang) karya Eneng Purwanti. Salah satu pawang hujan yang bernama Rohani menggunakan rumput sebagai media penangkal hujan. Pertama-tama, ritual diawali dengan ziarah ke makam keramat Ki Buyut Puncak Manik. Kemudian bertawasul kepada nabi, para sahabat, dan leluhur. Lalu membaca surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas, dan ayat kursi masing-masing 10 kali, berdoa, serta bersalawat. Hal ini dipercaya masyarakat setempat dapat menangkal hujan di daerah tersebut.
3. Ritus Kadiano Ghuse pada Suku Muna, Napabalano, Kabupaten Muna
Dilansir oleh artikel yang berjudul Ritus Kadiano Ghuse pada Suku Muna di Kecamatan Napabalano Kabupaten Muna karya Sunartin, dkk, kata kadiano berarti memindahkan atau mengalihkan. Sementara ghuse berarti hujan. Jadi, kadiano ghuse artinya memindahkan atau mengalihkan hujan dengan bantuan pawang hujan.
Ritual ini memerlukan beberapa bahan, yaitu tabhako (rokok), paesa (cermin), ghohia (garam) dan winto (Batu Asa), Roo Finde (daun pisang kering), dan Kalumembe (tumbuhan yang dijadikan sapu tradisional). Setiap bahan memiliki makna tersendiri. Asap Tabhako (rokok) dipercaya dapat menghambur awan hitam dan mendatangkan cahaya cerah. Paesa (cermin) dipercaya dapat menyinari langit dan menghilangkan awan. Sementara garam melambangkan titik air agar air hujan tidak melebar dan turun di tempat acara yang diadakan masyarakat.
Sementara itu, Winto (batu asa) dipercaya sebagai media perantara doa air hujan tidak turun di tempat tersebut. Roo fine (daun pisang kering) dan kalumembe (tumbuhan yang dijadikan sapu tradisional) dipercaya mempunyai fungsi mengeringkan awan dan menyapu bersih awan di langit.
Nah, itulah tradisi penangkal hujan dari masyarakat di beberapa daerah. Intinya, tradisi ini sebagai bentuk permohonan masyarakat agar segala aktivitas dan acara yang akan digelar diberikan kelancaran dan tidak ada hambatan, termasuk soal turunnya hujan. Tapi, semua itu kembali pada kehendak Tuhan Yang Maha Esa ya!