“Bagi kami, kenangan itu harus diingat karena akar dalam iman kami adalah merayakan ingatan dan merayakan kemenangan. Kemenangan yang melingkupi sengsara, salib, dan kematian (kurban).” -Romo Widyawan-
SURABAYA, Tugujatim.id – Hari ini, lima tahun lalu 13 Mei 2018. Peristiwa kelam terjadi menghantam jiwa masyarakat Indonesia. Terutama umat Kristen Surabaya yang berada di tiga gereja, lokasi insiden bom bunuh diri oleh satu keluarga teroris yang berafiliasi dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Pada 13 Mei 2018, luka mendalam menggores umat Kristen yang berada di GKI Diponegoro, Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, dan Gereja Pentakosta Pusat. Tiga tempat peribadatan yang menjadi lokasi aksi bom bunuh diri oleh teroris satu keluarga Dita Oepriarto (suami), Puji Kuswati (istri), dan anak-anaknya dengan inisial FR, FS, FA, dan YF.
Nahas, peristiwa tersebut menimbulkan belasan duka kematian dan puluhan luka-luka dari jemaat Kristen dan Katolik, kepolisian, dan masyarakat Surabaya.
Aloysius Bayu Rendra Wardhana, seorang tim keamanan gereja yang sempat menghadang pelaku ketika hendak memasuki gereja. Dia melindungi para jemaat yang lain, nasib kematian harus diterima oleh Bayu saat itu juga ketika bom diledakkan.
Setiap tahun memasuki tanggal 13 Mei, para romo dan frater tidak pernah luput untuk mengunjungi makam Bayu yang terletak di TPU Keputih, Semampir Surabaya. Memang, di antara enam korban lainnya yang berada di Gereja Santa Maria Tak Bercela, hanya Bayu yang dimakamkan di Surabaya.
Korban meninggal saat itu yang lain yakni Vincentius Evan, 11; Nathanael, 11; serta Mayawati dimakamkan di Lawang, Kabupaten Malang. Sedangkan Lim Gwat Ni, 56; dan Ciska disemayamkan di Cirebon.
Seakan-akan tidak ingin mengingat sebagai peristiwa luka, Romo Widyawan yang saat itu bertugas di Gereja Santa Maria Tak Bercela mengatakan, kejadian bom bunuh diri itu harus diingat sebagai peristiwa pembangkitan iman.
“Saat ini kami hanya fokus pada penyembuhan trauma kepada para korban, para penyitas. Terjadinya saat kami mau Misa, justru menyadarkan bahwa peristiwa ini penting untuk perkembangan iman kami. Bukan hanya sekadar bom yang menghancurkan, tapi juga membangkitkan. Kami jadi sadar, bahwa banyak sekali pihak yang peduli dan mendukung kami,” katanya kepada Tugujatim.id saat setelah menyambangi makam Bayu pada Sabtu (13/05/2023).
Bagi dia, imam pada diri manusia tidak hanya ketika berada di dalam gereja, tapi juga harus berada di luar gereja. Seperti bukti nyata keimanan Bayu yang saat itu menghalangi pelaku untuk memasuki gereja hingga akhirnya tewas.
“Iman itu juga harus keluar, memberi dampak kepada orang lain. Seperti dalam Islam, ada Rahmatan lil alamin. Maka ketika kita sembahyang, jangan sampai hanya untuk kepentingan diri kita dan komunitas (seagama),” ucapnya.
Keteguhannya semakin kuat kala dia melihat para komunitas lintas iman berbondong-bondong membantu untuk pemulihan, pembangunan, dan keamanan.
“Seminggu setelahnya banyak dari teman-teman Islam membantu untuk berjaga di gereja. Mereka pakai sarung dan jilbab. Bagi kami, ini menunjukkan bahwa bukan perihal agama, tapi ideologi kekerasan,” tuturnya dengan senyum.
Terpenting baginya, peristiwa kelam lima tahun lalu itu tidak patut untuk diingat sebagai peristiwa yang menyakitkan, ingatlah sebagai peristiwa yang membangkitkan. Fokus terhadap perjuangan para korban yang berusaha untuk bangkit dari rasa trauma.
“Kami yakin, korban yang meninggal sudah diterima oleh Tuhan. Tapi yang terpenting, bagaimana orang-orang penyitas yang ada di sekeliling kita. Mereka bergulat untuk sembuh, mereka berjuang,” katanya.
Terpisah, Romo Alexius Kurdo Irianto yang saat itu menjadi pimpinan Gereja Santa Maria Tak Bercela dengan santainya diiringi sedikit gelak tawa kembali menceritakan peristiwa bom bunuh diri lima tahun lalu itu. Terlihat dari senyum semringahnya, peristiwa itu lantas tidak membuatnya berlarut-larut meratapi kesedihan.
“Waktu itu jelas saya sedih. Tapi kalau kejadian itu terus diingat dengan kebencian, maka tidak akan pernah selesai. Semuanya menjadi korban, kita harus rekonsiliasi, mengampuni diri sendiri, berdamai dengan diri sendiri. Karena itu, semuanya harus dilawan dengan pengampunan. Kalau nggak begitu, lingkaran kekerasan akan terus berputar, jadi harus dipotong dengan pengampunan,” tuturnya.
Tanpa keraguan sedikit pun, pria yang akrab dipanggil Romo Kurdo ini mengatakan bahwa korban tidak hanya dari jemaat Kristen, Katolik, dan segenap masyarakat yang terlibat saat itu. Dengan tegas dia menyebut pelaku bom bunuh diri satu keluarga waktu itu juga merupakan bagian dari korban.
“Mereka yang mati, yang ngebom itu juga korban. Ya, korban ideologi kekerasan dan melakukan itu karena ketidaktahuan, keterbatasan, dan kesempitan cara berpikir,” paparnya.
Sesaat setelah kejadian itu, pihak kepolisian lantas segera memberikan peraturan bagi seluruh umat Kristen dan Katolik untuk tidak melakukan peribadatan di gereja. Namun, baginya justru larangan itu akan membuat umat semakin terguncang dan jauh dari kekuatan.
“Sekitar pukul 07.13 dibom, malam kami tetap Misa. Gereja tetap dijaga kepolisian, tapi kami tetap beribadah karena kekuatan kami di situ, Gusti Allah. Walaupun kondisi umat saat itu masih takut dan terkejut. Kami beribadah, kaca pun masih terlihat noda darah,” bebernya.
Dia mengatakan, memori lima tahun silam itu tidak terlupakan sedikit pun.
“Sekarang saya percaya, bahwa mereka (korban) masih menghidupi kami (gereja). Ke-katholikan justru hadir karena kematian. Kematian lahir dari kehidupan. Peristiwa ini harus hidup terus,” ujarnya dalam menutup obrolan pagi ini di depan pusara Aloysius Bayu Rendra Wardhana.