SURABAYA, Tugujatim.id – Istilah ‘sandwich generation‘ makin hangat di media sosial dan kalangan pemuda-pemudi. Situasi hidup yang terhimpit di antara kedua generasi atas dan bawah, berkewajiban untuk memenuhi hajat hidup orang tua, adik-adik, istri dan anak-anak.
Kendati hal itu merupakan kewajiban budaya di Indonesia, namun, bila diamati dari perspektif psikologis dapat membuat subjek tertekan, stres, dampak paling buruk pada kesehatan mental dan kejiwaan subjek.
Seperti yang disampaikan Nurul Hidayati MPsi Psikolog selaku Psikolog Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) dan pegiat akademisi sebagai Dosen Fakultas Psikologi di Universitas 45 Surabaya, berupaya menjelaskan kompleksitas ‘sandwich generation‘ kepada Tugu Jatim.
“‘Sandwich generation’ ini sebenarnya bukan konsep yang benar-benar baru, ya. Sudah disampaikan oleh Dorothy Miller, seorang profesor dari USA pada tahun 80-an. Hanya, makin marak belakangan. Karena banyak keluarga saat ini yang komposisinya ‘sandwich-like’,” terangnya, Jumat (25/06/2021).
Dikatakan ‘sandwich generation‘, jelas Nurul, karena keluarga-keluarga tersebut ‘terhimpit’ oleh dua kewajiban yang sama besarnya. Yakni, kewajiban terhadap orang tua yang tinggal bersamanya (‘care-giving’) dan bersamaan dengan itu, imbuh Nurul, ada pula kewajiban ‘parenting‘ terhadap anak-anak.
Kemunduran Usia Pernikahan, Sebab Munculnya Sandwich Generation
Di sisi lain, Nurul juga menegaskan bahwa salah satu faktor terbentuknya situasi ‘sandwich generation‘ yakni kemunduran usia pernikahan seseorang. Satu sisi, masih berkewajiban membiayai orang tua dan di sisi lain, anak-anaknya masih kecil, walau usianya sudah mulai menua. Energi untuk bekerja juga terdapat penurunan.
“Sepemahaman saya, kian banyaknya ‘sandwich generation’, di antaranya disebabkan oleh kemunduran usia pernikahan. Sehingga, di satu sisi kondisi anak-anak masih kecil-kecil, masih butuh pengasuhan, pendidikan, dan lain-lain,” bebernya.
“Secara intensif dan masih penuh menjadi tanggung jawab orang tua. Sedangkan di sisi lain, orang tua yang sudah lansia juga tinggal bersama para Ayah-Bunda ini. Sehingga, tanggung jawabnya menjadi dobel-dobel kan, ya,” lanjutnya.
Stres dan Salah Paham dalam Komunikasi, Akibat ‘Sandwich Generation’
Selain itu, jelas Nurul, ‘sandwich generation’ juga mempunyai potensi untuk membuat subjek yang berada dalam situasi terhimpit menjadi stres, tertekan, depresi, dan rentan salah paham dalam aspek komunikasi.
Hal itu terjadi, imbuh Nurul, akibat adanya ‘gap’ atau rentang usia yang begitu senjang antara orang tua, anak-anak dan cucu-cucu. Ketiganya mempunya perbedaan generasi.
“Muncul problematika terkait ‘stress‘ yang lebih banyak pemicunya, muncul ‘problem‘ juga terkait komunikasi yang bisa jadi kadang muncul kesalahpahaman antara Ayah-Bunda dengan ortu yang sudah lansia tersebut,” tuturnya.
Apalagi, beber Nurul, problem utama yang sering jadi kendala subjek yang terhimpit oleh situasi ‘sandwich generation‘ yakni finansial, keuangan atau biaya hidup. Mengingat tanggung jawab dan tanggungan yang harus diselesaikan subjek begitu tinggi dan berkali lipat lebih banyak dari biaya hidupnya sendiri.
“Atau antar anak-anak dengan kakek-nenek yang tinggal serumah. Timbul pula ‘problem‘ terkait beban finansial yang tentu cukup tinggi, mengingat tanggung jawabnya multi,” pungkasnya.