SURABAYA, Tugujatim.id – Pemerintah Kota Surabaya lebih memilih membangun Autonomous-rail Rapid Transit (ART) untuk mengatasi masalah transportasi di Surabaya, dibanding Mass Rapid Transit (MRT).
Sebagai salah satu kota besar di Indonesia, Kota Surabaya memang tak lepas dari masalah kemacetan. Pembangunan ART dinilai bisa menjadi salah satu solusi.
Berbeda dengan Jakarta yang masif akan pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) dan Light Rail Transit (LRT). Pemkot Surabaya lebih pilih ART. Alasannya, lebih ekonomis .
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, untuk pembangunan MRT per kilometer bisa memakan biaya sampai Rp2.3 triliun sedanhkan LRT per kilometer Rp800 miliar. Sementara APBD Kota Surabaya per tahunnya Rp10.9 triliun.
“MRT itu satu kilometernya Rp2,3 triliun. Kalau APBD Surabaya (bangun MRT) 5 Km doang habis (APBD), tidak ada dana (pengentasan) kemiskinan. Karena itulah kenapa orang-orang selalu bertanya, kok tidak dibangun, karena tidak mungkin,” katanya.
Dalam perhitungannya, pembangunan ART dinilai lebih cocok di Surabaya karena lebih murah. Pasalnya, untuk per kilometernya memakan biaya sekitar Rp600miliar.
“ART itu seperti MRT tapi pakai magnet. Nah ternyata harganya Rp500-600 miliar per tujuh kilometer, saya langsung menyampaikan ke Kementerian Perhubungan,” terangnya.
Selain masalah biaya, kendala lain yang dialami Surabaya untuk tidak membangun MRT atau LRT adalah masalah ketersediaan lahan.
“Saya berpikirnya adalah lahan tidak ada, dan kedua adalah harganya. Saya tidak akan mengorbankan Surabaya untuk popularitas demi MRT,” ujar politikus PDI Perjuangan tersebut.
Diketahui, ART pertama yang dibangun oleh pemerintah pusat berada di Ibu Kota Negara (IKN) sebagai alat transportasi massal. Eri mengklaim jika pembangunan selanjutnya akan ada di Surabaya.
“Kita sudah hubungi Pak Menhub, saya ingin minta konsep beliau, nanti kita lakukan FS (Feasibility Study) di Surabaya. Semoga (pembangunan) di 2025 atau 2026 sudah jalan,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Tugujatim.id
Reporter : Izzatun Najibah
Editor: Darmadi Sasongko