Oleh: Hendro Fujiono ST., MS., PhD, Praktisi Change Management, Tinggal di Australia Barat.
Tugujatim.id – Selain berita tentang Covid, hari ini dunia bisnis di Australia juga dihebohkan dengan berita mengenai hasil penilaian eksternal mengenai budaya kerja di salah satu perusahaan multinasional.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa bullying terjadi secara sistemik. Hampir setengah dari karyawan yang disurvei kabarnya pernah mengalaminya.
Bukan itu saja yang mengejutkan, hasil penilaian juga menunjukkan bahwa rasisme dan pelecehan seksual juga masih terjadi. Tentu keberanian top leadership dari organisasi ini untuk secara terbuka melakukan independent review perlu diapresiasi. Tapi, pemimpin masa depan perlu melakukan lebih dari itu.
Pelajaran Pertama: Hanya Fokus pada Angka Bisa Membuat Buta
Ini terjadi di perusahaan multinasional–bukan di perusahaan abal-abal. Perusahaan yang mencatatkan lebih dari 21 miliar dollar EBITDA. Indikator finansial menunjukkan kinerja yang sangat baik dibandingkan tahun sebelumnya, juga pesaingnya.
Laporan ini seperti bom waktu yang meledak.
Bom yang seharusnya meledakkan kesadaran kita bahwa fokus hanya kepada angka finansial akan membuat kita lupa akan faktor manusia.
Pelajaran Kedua: Jangan Selalu Menyalahkan Budaya Kita
Laporan tersebut menyebutkan bahwa banyak yang merasa tidak aman secara psikologis dan adanya culture of silence–inersia untuk bersuara dan bertindak karena adanya dampak negatif dari keberanian bersuara. Culture of silence istilahnya. Dan ini terjadi juga di operasinya yang ada di Australia.
Tentu ini mengherankan bagi yang sering menyebutkan bagaimana anak-anak di negara maju di sekolahnya dilatih untuk berani berpendapat dan bersuara. Bagaimana bisa terjadi culture of silence terjadi ketika generasi mudanya sudah dilatih untuk berani berbicara.
Tidak pula kita harus menyimpulkan pendidikan usia dini yang melatih keberanian memiliki perspektif itu sia-sia. Rasanya masih jauh bagi kita untuk menyimpulkan apa penyebabnya, tetapi seharusnya sudah bisa menghentikan sebagian dari kita untuk selalu menyalahkan “budaya” Indonesia ketika ada budaya kerja yang toxic dan membuat orang secara psikologis merasa tidak aman untuk bersuara.
Pelajaran Ketiga: Pemimpin yang Ingin Maju Tidak Bisa Lari dari Psychological Safety
Organisasi yang ingin terus berkembang pastinya harus mengembangkan timnya juga. Memiliki team yang besar dan beragam tidak bisa dihindari. Seiring berkembangnya team, terutama dari segi cognitive diversity, psychological safety menjadi pondasi penting untuk memastikan terjadinya sinergi.
Team synergy, inclusivity, dan psychological safety selama ini memang sudah sering dibicarakan, meski sering masih dalam tataran konseptual. Menerjemahkan dan membicarakan nya dengan objektif masih jarang untuk dilakukan.
Tidak heran ada keengganan bagi para pengejar angka untuk mengintegrasikan ini dalam aktivitas bisnis nya sehari-hari. Padahal ilmu nya sudah berkembang. Bahkan teknologi digital sudah memberikan kemampuan untuk mengukur psychological safety dengan cepat, tepat, dan objektif. Hanya dibutuhkan 5-10 menit untuk mengetahui tingkat psychological safety di dalam team.
Dengan kemajuan tersebut, hanya ada dua pilihan bagi para pemimpin. Perhatikan psychological safety untuk maju, atau terus saja pelihara bom waktu.