Tugujatim.id– Rencana menonton dan menulis berita laga hidup mati klub Persedikab Kediri terpaksa harus terhenti di tengah jalan. Terpaksa saya sebagai wartawan Tugujatim.id memilih jalan menuju “pengasingan” setelah dinyatakan positif Covid-19. Begitulah kira-kira saya menyebut tempat isolasi bagi yang terpapar virus asal China itu.
Saat itu, hari Jumat (11/2/2022), sejak pagi woro-woro setiap wartawan yang akan melakukan liputan laga terakhir Persedikab melawan Persehalsel harus tes swab. Pertandingan itu adalah penentu klub kebanggaan warga Kediri itu untuk melaju ke 36 besar putaran nasional Liga 3. Laga yang tak mungkin dilewatkan begitu saja. Namun, mau tidak mau semua yang masuk stadion harus mematuhi prosedur.
Sekitar pukul 16.00 WIB pemain yang akan bertarung sudah menjalani tes. Teman-teman wartawan juga menunggu giliran. Peserta tes ada yang berteriak dan memberi gurauan untuk mencairkan suasana yang kaku. Rupanya ada wartawan yang positif Covid-19.
Saat itu saya masih bisa tertawa dan berharap tidak terjadi hal yang sama. Meskipun saya sudah merasa akan positif, sebab kondisi tubuh kurang sehat sehari sebelumnya.
Firasat saya benar, tanda dua garis merah di alat swab yang bertuliskan nama saya. Ini membuat tawa saya terhenti seketika. Ternyata, dari semua wartawan hanya saya dan Yobi yang positif.

Petugas menyarankan untuk tes ulang di RS Simpang Lima Gumul (SLG) jika masih ragu dengan hasil tesebut.
“Sampeyan bisa tes ulang sebagai perbandingan, kalau masih ragu,” ungkapnya.
Saya mencoba tenang. Duduk di depan kantor pengurus Stadion Brawijaya di samping mobil Terios warna putih. Saya memikirkan selanjutnya harus kemana, belum ada tujuan. Ini kali pertama saya terpapar Covid-19.
“Kalau pulang jelas tidak mungkin. Kasihan keluarga di rumah. Ada anak kecil dan orang tua yang memiliki penyakit bawaan di paru-paru,” pikiran saya campuraduk.
Tak lama, saya ingat isolasi terpadu (isoter) milik pemerintah. Hal itu jalan yang paling baik saya kira. Namun, saat itu saya belum tahu bagaimana mekanisme masuk isoter.
Sekitar pukul 17.30 WIB, Yobi mengajak saya untuk melakukan tes ulang di rumah sakit sembari mencari tempat isolasi jika memang benar-benar positif. Ternyata tuhan memang berkehendak saya harus menjalani “tapa” di tempat isolasi.
Pikiran terus bergulat setelah tes kedua. Kami berdua duduk di parkiran dan menyalakan sebatang rokok hingga pukul 18.30 WIB. Yobi bertanya.
“Yakin ke isoter Grogol, keadaannya belum tahu ada petugasnya atau tidak,” ungkapnya ragu.
Pertanyaan itu membuat saya agak gelisah dan butuh waktu untuk memantapkan hati. Sementara untuk pulang sepertinya tidak mungkin. Pulang akan membuat keluarga ikut terisolasi di rumah.
Ini akan membuat ribet administrasi, testing, dan tracing. Sebab, domisili dan alamat KTP saya berbeda meskipun masih dalam satu kabupaten. Untuk memperpendek kontak dengan orang lain maka keputusan langsung ke isoter semakin menguat.
Pilihan langsung ke isoter lebih tepat daripada pulang ke rumah. Meskipun tidak terlalu yakin, tidak ada pilihan lagi. Akhirnya, saya mantap menuju isoter Grogol, sementara Yobi ke rumahnya untuk isolasi mandiri.
Tidak ada mobil ambulan. Tidak ada petugas kesehatan yang mendampingi. Saat itu cuaca sedang gerimis saat perjalan menuju isoter yang berada di Kecamatan Grogol. Kira-kira perjalanan ditempuh selama 45 menit dengan kecepatan 60 Km/jam. Tanpa membawa bekal apapun, termasuk pakaian ganti, saya berjalan ke tempat yang di hindari banyak orang itu.
Ada pertanyaan yang mencabik-cabik di benak saat perjalanan: apakah saya akan sendirian? Ada petugas atau tidak yang jaga di sana?
Isoter yang terletak di dekat lokasi pembangunan bandara tersebut membuat saya khawatir. Bagaimana kalau ditolak karena tidak sesuai mekanisme yang dilakukan. Andaikan ditolak terpaksa harus kembali pulang tengah malam dan langsung ke kamar sehingga meminimalisir kontak. Otakku mengatur siasat.
Seharusnya, mekanismenya lapor dulu ke Puskesmas sesuai alamat baru petugas akan memutuskan untuk dirujuk ke isoter. Namun, saya tidak melalui itu dengan pedenya langsung ke isoter.
Beruntung, saya diizinkan masuk dengan alasan yang saya berikan. Sehingga, keputusan itu membuat keluarga terselamatkan dan mempermudah testing dan tracing.
Andaikan saya memilih pulang ke rumah, maka semua keluarga akan terisolasi selain kesehatan terancam perekonomian keluarga pun terganggu. Sawah, toko, dan pekerjaan lain akan terhenti.