Tugujatim.id – Menukarkan uang baru pecahan kecil sudah menjadi kebiasaan masyarakat muslim Indonesia menjelang hari raya Idul Fitri. Uang baru itu nantinya akan dibagikan kepada sanak saudara, terutama yang terbilang masih kanak-kanak.
Tradisi ini membuat menjamurnya money changer jalanan atau jasa penukaran uang baru di pinggir-pinggir jalan. Tentu saja terdapat selisih jumlah antara uang baru dengan yang yang ditukarkan. Para penyedia jasa penukaran biasanya mengemas uang baru tersebut dengan berbagai kemasan dengan selisih 5 hingga 10 persen.
Lantas bagaimana hukumnya menurut syariat Islam? Apakah halal atau haram?
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Jawa Timur, Dr H Syamsudin MAg, menjelaskan penukaran uang lama dengan uang baru dengan jumlah yang selisih merupakan khilafiyah (perbedaan pendapat) di antara ahli hukum Islam.
“Ada yang mengharamkan, ada juga yang membolehkan. Pendapat yang mengharamkan, adalah dengan cara mengiaskan hukumnya dengan larangan jual beli emas dengan emas atau perak dengan perak, dan lainnya,” ujarnya.
1. Hukumnya Haram (Dilarang)
Dr Syamsudin memaparkan, pendapat pertama yang melarang penukaran uang ialah ditakutkan ada unsur riba di dalamnya. Jika penukaran uang lama dengan uang baru di bank tanpa ada pengurangan atau penambahan nilai uang maka itu dibenarkan.
“Jika penukaran uang lama dengan uang baru tidak sama nilainya, semisal menukar uang Rp 110.000 dengan uang pecahan yang totalnya Rp 100.000 maka inilah yang masuk ke dalam riba yang diharamkan agama,” jelasnya.
Hal tersebut merujuk pada hadis berikut:
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim No. 1584)
Berdasarkan dalil di atas bisa disimpulkan, bahwa penukaran emas, perak, atau alat jual beli lainnya yaitu yang saat ini kita sebut uang jika sama nilainya maka ini dibenarkan. Namun jika ada salah satu pihak yang menambah atau meminta tambahan, maka ini termasuk ke dalam riba.
Untuk menghalalkan praktik penukaran uang sebagaimana di atas, kelompok ini menawarkan solusi dua akad. Pertama, adalah akad penukaran, jumlah uang lama yang ditukar dengan uang baru harus sama. Kedua, akad memberikan uang jasa dengan jumlah yang telah disepakati.
2. Halal (Diperbolehkan)
Pendapat kedua, menyatakan bahwa penukaran uang lama dengan uang baru meskipun dengan penambahan nilai adalah tidak riba. Karena yang demikian ini tidak bisa dikiaskan dengan riba fadl, mengingat tidak adanya kesamaan illat di antara keduanya. uang tidak bisa ditimbang dan ditakar sebagaimana barang-barang yang tersebut dalam hadis di atas.
Disebutkan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, bahwa ulama mazhab Syafi’i, Hanafi, serta ulama Hambali dalam pendapat yang masyhur, dan lain-lain, bahwasanya tidak ada riba di dalam uang yang dibuat transaksi walaupun diakui sebagai alat transaksi.
Karena uang tidak bisa ditimbang dan ditakar (sebagaimana emas dan perak), serta tidak adanya nash yang menyatakan riba dalam uang sebagaimana dikatakan oleh al-Buhuti. Dan juga karena yang menjadi illat keharaman riba dalam emas dan perak adalah harga atau nilai ekonomis yang terdapat dalam material keduanya.
Dan hal ini tidak dimiliki oleh uang walaupun diakui sebagai alat transaksi. Oleh karenanya diperbolehkan menjual uang dengan sesamanya secara tidak sama, sebagaimana boleh menjual satu telur dengan dua telur, satu kelapa dengan dua kelapa, satu pisau dengan dua pisau, dan lain-lain. Asalkan secara kontan.
Dari keterangan di atas dalam pandangan hukum Islam boleh menukar uang dengan uang baru. Asalkan secara kontan dan lebihan uang yang diberikan kepada penyediaan jasa harus diniatkan untuk membayar jasa.
“Dari dua pandangan di atas saya lebih condong kepada pendapat yang kedua. Mengingat hukum dalam masalah muamalah duniawiyah itu bisa berubah-ubah sesuai dengan perubahan alasan hukumnya. Praktik riba diharamkan dalam Islam karena di dalamnya ada kezaliman atau penindasan ekonomi. Sementara dalam praktik di atas hal tersebut tidak ditemukan, bahkan yang terjadi adalah saling memberi manfaat,” ungkapnya Dr H Syamsudin MAg.
Sudah terjalin kesepakatan antara masyarakat dengan penyedia jasa pada transaksi yang dilakukan. masyarakat diuntungkan karena tidak harus antri lama di kantor bank. Sedangkan penyedia jasa juga diuntungkan dengan upah jasa yang didapat.
“Bukankah ada kaidah hukum yang mengatakan, jika terdapat tradisi atau adat dalam muamalah duniawiyah yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, maka hal tersebut diakui sah oleh agama. Wallahu a’lam,” pungkasnya.
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugujatim , Facebook Tugu Jatim ,
Youtube Tugu Jatim ID , dan Twitter @tugujatim