SURABAYA, Tugujatim.id – Tindak kekerasan fisik akhir-akhir ini terjadi di lingkungan satuan pendidikan. Dalam sebulan terakhir, di Jawa Timur terjadi dua kasus kekerasan hingga mengakibatkan seorang siswa meninggal dunia. Di antaranya terjadi di salah satu SMK di Jember pada Agustus 2022.
Aksi kekerasan fisik menimpa seorang siswa kelas X yang setelah dirawat di rumah sakit. Siswa itu pun meninggal dunia. Kejadian lainnya menimpa seorang pelajar SMA kelas XI di Sidoarjo yang juga setelah dirawat di rumah sakit, meninggal dunia karena pendarahan otak.
Aksi kekerasan fisik tersebut tentu menjadi sorotan publik. Di mana lingkungan pendidikan yang seharusnya menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi siswa justru mengkhawatirkan dan membahayakan.
Bahkan, Kemendikbud Ristek telah mengeluarkan regulasi dalam menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman melalui Permendikbud No 82 Tahun 2015. Peraturan ini berisi tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Aturan Permendikbud ini masuk dalam rekomendasi regulasi yang disampaikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Diketahui KPAI mencatat setidaknya secara nasional ada 18 kasus kekerasan di satuan pendidikan selama 2021.
Sebagai bentuk perlindungan kepada siswa di lingkungan satuan pendidikan, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menginstruksikan pembentukan satgas perlindungan siswa di sekolah kepada Dinas Pendidikan Jawa Timur.
Gubernur Khofifah mengatakan, secara formal tanggung jawab sekolah adalah selama siswa berada di sekolah dan pada jam sekolah. Namun pembentukan karakter siswa juga dilakukan di sekolah. Gubernur Khofifah menegaskan, perlindungan anak menjadi tanggung jawab bersama.
Gubernur Khofifah juga melanjutkan, sebagai upaya pencegahan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan, hal paling krusial yang harus dipahami sekolah adalah bentuk kekeraaan serta dampak yang mungkin ditimbulkan dari tindak kekerasan.
“Banyak kasus tindak kekerasan terjadi karena ketidaktahuan pelaku maupun korban. Beberapa tindakan kekerasan dianggap sebagai sesuatu yang biasa, tapi sebenarnya berpengaruh besar pada diri korban,” ujarnya pada Senin (26/09/2022).
Salah satu bentuk kekerasan, Gubernur Khofifah mengatakan, adalah mempermalukan seseorang di depan orang lain, menuliskan komentar yang menyakitkan di media sosial, mengancam, menakut-nakuti orang lain sampai yang bersangkutan tidak nyaman, menyebarkan cerita bohong mengenai orang lain, termasuk dalam tindakan kekerasan yang sering kali terjadi tapi tidak dianggap serius sehingga berulang.
“Dengan mengetahui bentuk-bentuk kekerasan dan faktor yang membuat seseorang melakukan tindak kekerasan, kami akan menjadi lebih mawas diri agar tidak menjadi pelaku maupun korban kekerasan. Saling menghargai satu sama lain dan bila melakukan tindakan yang ternyata masuk dalam kategori kekerasan, kita wajib meminta maaf ke orang yang bersangkutan,” tegasnya.
Menanggapi instruksi tersebut, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Wahid Wahyudi menuturkan, pihaknya telah mendorong semua kepala sekolah melalui cabang dinas pendidikan wilayah untuk membuat satgas perlindungan siswa di sekolah.
“Ini sesuai instruksi Bu Gubernur untuk mencegah terjadinya kekerasan fisik maupun non fisik di lingkungan sekolah,” katanya.
Dalam pembentukan ini, sesuai arahan gubernur, Wahid mengatakan, pihak yang terlibat menjadi keanggotannya adalah sekolah, ortu siswa atau komite, dan siswa atau OSIS.
Sementara bagi sekolah dengan boarding school yang ada di kawasan pesantren atau kawasan lainnya, perlu ditambahkan perwakilan dari pesantren atau pengelola asrama. Wahid berpesan agar sekolah terus mengoptimalkan dan memperkuat ekstrakurikuler bagi siswa. Tujuannya untuk menyalurkan dan memaksimalkan potensi, bakat dan minat siswa sehingga peluang untuk melakukan kekerasan pada teman sebayanya tidak terjadi.
“Para guru juga harus menyusun pembelajaran yang terintegrasi dengan program anti kekerasan. Penguatan intrakurikuler dan kurikuler juga harus diperkuat,” ujarnya.