Akademisi UB: Kampus Tak Tegas Buat Plagiasi Semakin Merajalela

Universitas Brawijaya (UB) di Kota Malang tetap terapkan kuliah daring atau online hingga semester depan. (Foto: Dokumen UB)
Universitas Brawijaya (UB) di Kota Malang. (Foto: Dokumen UB)

MALANG, Tugujatim.id – Akademisi Ilmu Hukum Universitas Brawijaya (UB) Malang, Dr. Dhia Al-Uyun, S.H, M.H turut menyampaikan keresahannya terkait banyaknya kasus plagiasi yang menjadi fenomena di dalam ‘miniatur negara’ bernama kampus. Dr. Dhia mengatakan bahwa kasus plagiasi merupakan persoalan sistemik di perguruan tinggi, lantaran berkaitan dengan syarat kenaikan jabatan.

“Ini permasalahan sistemik. Untuk mencapai tingkatan lebih tinggi, dosen dipaksa menulis publikasi ilmiah jurnal internasional terindeks ‘Scopus’, karya mahasiswa digunakan sebagai publikasi dosen. Misalnya, dalam kasus FR, Rektor Unnes (Universitas Negeri Semarang, red). Kampus tidak memiliki pedoman atau melaksanakan penerapan sanksi pada plagiasi, tindakan tidak tegas ini dapat berakibat plagiasi makin merajalela dan itu dicontohkan oleh para pendidiknya,” terang Dr. Dhia pada pewarta Tugu Jatim, Jumat (12/02/2021), pukul 16.00 WIB.

Selain itu, Dr. Dhia menyampaikan bahwa Press Release dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) pada 26 Januari 2021 telah menjadi salah satu pemantik untuk menguak kasus-kasus plagiasi di lingkungan perguruan tinggi. Dr. Dhia juga menyebutkan beberapa nama yang terlibat dalam aktivitas plagiasi.

Akademisi Ilmu Hukum Universitas Brawijaya (UB) Malang, Dr. Dhia Al-Uyun, S.H, M.H. (Foto: Dokumen) tugu jatim
Akademisi Ilmu Hukum Universitas Brawijaya (UB) Malang, Dr. Dhia Al-Uyun, S.H, M.H. (Foto: Dokumen)

“Tak tanggung-tanggung pelakunya adalah Rektor Unnes, salah satu universitas yang melahirkan pendidik dan dibuktikan dengan monografi. Kasus USU, kasus Universitas Haluoleo, kasus UNJ dan gunung es ini (berbagai kumpulan kasus tersebut, red) akan makin mencair membuka fakta lainnya,” lanjutnya.

Dr. Dhia juga mengatakan bila Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tidak tegas dalam memberi sanksi atau hukuman bagi pelaku, dapat mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap lingkungan akademis.

“Jika Kemendikbud tidak bertindak tegas mendorong sanksi bagi pelaku. Ini tidak hanya menghancurkan ‘trust‘ (kepercayaan, red) masyarakat pada budaya hukum yang tumpul ke atas, tapi juga menghancurkan lingkungan akademis, dosen yang harusnya berintegritas,” imbuhnya.

Dr.Dhia lantas melanjutkan, bahwa, kasus plagiasi di Indonesia belum menampakkan jalan terang. Kasus UNNES misalnya, Dr. Dhia mengatakan seharusnya Rektor UGM mengkaji ulang bukti yang tertuang dalam monografi KIKA. Terlebih, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) seharusnya menindak pelaku plagiasi.

Apa Itu Plagiasi?

Lalu, apa sebenarnya plagiasi tersebut? Dr. Dhia Al-Uyun, S.H, M.H juga menjelaskan bahwa plagiasi merupakan tindakan tidak jujur yang melanggar etika dan hukum.

“Plagiasi adalah tindakan tidak jujur yang melanggar etika dan hukum. Tindakan pengutipan pada karya sendiri atau orang lain tanpa menyebutkan rujukan atau kutipan, di mana karya tersebut dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi,” terang Dr. Dhia.

Modus-modus Plagiasi yang Kerap Terjadi

Selain itu, Dr. Dhia juga menyampaikan bahwa sebetulnya pada masing-masing perguruan tinggi sudah mempunyaj alat deteksi plagiasi. Akan tetapi, alat deteksi itu hanya dapat mengendus hal-hal teknis, seperti kata, kalimat dan semacam itu. Dr. Dhia melanjutkan, modus plagiasi ada berbagai macam.

“Modus-modus plagiasi mengutip karya dengan merubah cover (halaman depan atau sampul, red) menyisipkan kutipan dan ambil alih pendapat, ‘free rider‘ tidak semuanya dapat terdeteksi mesin. Di sisi lain, kebiasaan plagiasi di Indonesia masih dengan ukuran ‘merugikan orang lain’, ‘ada aturan atau tidak’, padahal ini masalah kejujuran akademik,” terangnya.

Melanjutkan penjelasan, Dr. Dhia menegaskan bahwa ada aturan yang sudah tertulis dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) 17 Tahun 2010, UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan UU Hak Cipta yang dapat menjerat pelaku plagiasi di lingkungan akademik. Sanksi dan hukuman itu berbagai macam.

“Sanksi akademik dan hukum. Sanksi akademik misalnya, pencopotan gelar akademik, pembatalan karya yang bersangkutan, dan sebagainya. Sanksi hukum, misalnya pelanggaran hak cipta, penundaan kenaikan pangkat jika ASN, dan lain-lain,” pungkasnya.

Dr. Dhia juga menyampaikan bahwa fenomena ini merupakan permasalahan sistemik. Untuk mencapai tingkatan lebih tinggi, dosen dipaksa menulis publikasi ilmiah jurnal internasional yang dapat terindeks Scopus, karya mahasiswa acapkali digunakan sebagai publikasi dosen tersebut. (Rangga Aji/gg)