Alasan Vonis Bebas Terdakwa Tragedi Kanjuruhan Disebut Tak Ilmiah

tragedi kanjuruhan tugu jatim
Sidang Bambang Sidik Achmadi di PN Surabaya, pada Kamis (16/3/2023). Foto: Izzatun Najibah/Tugu Jatim

SURABAYA, Tugujatim.id – Majelis hakim menjatuhkan vonis bebas kepada terdakwa tragedi Kanjuruhan, yakni eks Kasat Samapta Polres Malang, Bambang Sidik Achmadi. Vonis itu dibacakan hakim ketua, Abu Achmad Sidqi Amsya, di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, pada Kamis (16/3/2023).

Majelis hakim menilai Bambang tak terbukti bersalah atas penembakan gas air mata yang dia perintahkan. Selain itu, gas air mata tak mengarah ke tribun karena tertiup angin juga menjadi alasan majelis hakim.

tragedi kanjuruhan tugu jatim
Aparat kepolisian yang siaga saat tragedi Kanjuruhan terjadi pada 1 Oktober 2022 lalu. Foto: Dani Kristian/Tugu Jatim

Alasan tersebut mendapat banyak sorotan dan kritik publik. Salah satunya datang dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Sekjend Federasi Kontras, Andy Irfan menyebut bahwa alasan hakim tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. “Dampak gas air mata itu bisa diuji secara ilmiah tapi dibantah dengan orang yang benar-benar akademik tapi tidak ilmiah pernyataannya. Dan digunakan sebagai dasar putusan oleh hakim tanpa mempertimbangkan lebih dalam,” kata Andy, pada Kamis (17/3/2023).

Nampak menahan emosi, Andy mengaku kecewa atas alasan yang diberikan majelis hakim atas kebebasan Bambang. Pernyataan yang seharusnya bernilai ilmiah tersebut malah dibantah oleh orang yang bergelar akademisi (majelis hakim).

“Saya kira pak hakim harus mencoba sendiri, sekeras apa saat gas air mata menimpa di sekeliling dia. Ini perdebatan yang secara ilmiah tetapi tidak menjadi ilmiah karena pernyataan dari orang yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah,” ucapnya.

Menurutnya, saat tragedi Kanjuruhan, tidak ada hembusan angin yang signifikan sehingga alasan putusan bebas oleh hakim dinilai tidak konkrit.

“Dengan mengatakan bahwa gas air mata itu akan hilang hanya dengan kena angin. Kita tahu bahwa gas air mata ditembakkan di tribun, nggak ada arus angin yang signifikan di situ. Ada sekian puluh menit orang yang terpapar karena gas air mata itu. Kita juga uji setiap personel polisi yang menyangkal itu. Silahkan duduk di tribun, mari kita tembak mereka di jam yang sama. Apakah dia mati, luka, atau sehat wal afiat?” ucapnya.

Sebagai bahan pertimbangan, kata dia, hakim seharusnya juga meminta pendapat atau keterangan dari para ahli. Seperti akademisi dan kedokteran terkait bahaya penembakan gas air mata. Sehingga bahan pertimbangan tersebut dapat menunjukkan hasil yang kredibel.

“Hakim bisa saja mencari orang yang lebih kredibel untuk mencari pendapat yang lebih otentik dan parsial. Hakimpun bisa menghadirkan para ahli yang bisa memberikan pandangan-pandangan yang utuh terhadap seluruh analisa terhadap dampak penembakan gas air mata,” paparnya.

Selain itu, Andy juga mempertimbangkan kejanggalan lain yang muncul selama jalannya proses penyelidikan, yakni dari 135 korban meninggal, hanya dua korban yang diautopsi. Dia khawatir hasil yang dipaparkan tidak memiliki kredibitas dan otentik.

“Korban yang diautopsi itu hanya dua orang, itupun setelah hampir dua bulan setelah peristiwa. Hasilnya juga patut diuji kredibilitas dan keontetikannya,” pungkasnya.