MALANG, Tugujatim.id – Warga Kabupaten Malang utamanya Kecamatan Jabung mungkin sidah tidak asing lagi dengan nama Perpustakaan Anak Bangsa. Perpustakaan yang didirikan oleh Eko Cahyono sejak 1996 ini memang saat ini sudah terkenal karena sangat membantu meningkatkan literasi anak di daerah pinggiran Malang ini.
Kepada tugumalang.id, Eko bercerita jika awalnya ia mendirikan Perpustakaan Anak Bangsa ini pada tahun 1996 waktu itu masih SMA.
“Alasannya waktu itu cuman satu, motivasinya karena saya suka baca, jadi saya ingin tempat di mana saya sepuasnya bisa baca. Waktu itu saya masih buka perpustakaan di halaman rumah bapak saya, jadi buku-buku saya taruh di halaman dan di teras kayak jemuran baju gitu, buku-buku itu saya tali rafia,” ujarnya saat diwawancarai pada Jumat (25/06/2021) di Perpustakaan Kota Malang.
Kemudian mulai banyak anak-anak yang melihat cover majalah yang bagus, bahkan awalnya ia dikira jualan majalah oleh tetangganya.
“Tapi waktu saya bilang ini gratis dan boleh dipinjam ya sudah mereka datang sendirinya,” ungkapnya.
“Malah awalnya pada 1996 itu saya gak punya buku, awal-awal koleksi saya itu majalah yang Rp 1.000,- dapat 4 majalah. Kadang juga majalah yang Rp 2.000,- dapat 11 majalah. Sama koran-koran bekas yang harganya kalau gak salah Rp 50,- sekilonya,” kenangnya sambil tersenyum.
Lalu seiring berjalannya waktu, Eko lulus SMA, dan mulai mengenal buku. Ia sering datang ke toko-toko buku, dan mulai mengenal penerbit buku dan akhirnya mencari-cari buku.
“Ada cerita unik saat dulu saya sering datang ke Gramedia sekitar seminggu sekali, tapi mau beli gak punya duit dan datang xuma baca-baca aja. Lalu saya iseng-iseng aja setiap ada orang keluar toko dan bawa banyak buku logikanya di rumahnya pasti banyak buku, lalu akhirnya saya datangi rumahnya buat minta buku, ternyata dikasih,” ceritanya.
“Akhirnya sejak saat itu saya saya cari buku door to door, kadang juga cari buku lewat kirim-kirim pesan radio, kan ada duku sesi kirim-kirim pesan saat radio masih booming,” imbuhnya.
Pria yang memiliki hobi olahraga ini juga mengatakan bahwa dirinya suka semua bacaan, jadi ia menerima semua buku.
“Jadi di perpustakaan saya buku pelajaran ada, novel ada, buku anak, dongen, sastra ada, bahkan skripsi juga ada. Tapi setiap saya dapat bantuan buku atau majalah saya tetap seleksi dan sya klasifikasi mana yang cocok untuk anak dan tidak,” paparnya.
Lalu di tahun 200an Eko mulai mengontrak rumah karena buku koleksinya makin banyak, namun ia harus pindah-pindah karena berbagai alasan.
“Baru bisa beli tanah dan bangun gedung sendiri itu tahun 2011. Jadi, perpustakaan kami pindah-pindah kontrakan itu sekitar 10-11 kali,” ungkapnya.
Lebih lanjut, pria asli Jabung ini mengatakan bahwa ia tidak bis mengatakan bahwa minat baca anak di desanya itu rendah.
“Kalau bisa dibilang 24 tahun yang lalu itu jauh berbeda dari hari ini, dan saya gak bisa bilang minat baca teman-teman itu rendah karena memang gak ada perpustakaan. Tapi ketika saya buka perpustakaan itu anak-anak banyak yang suka, tiap hari datang, dan banyak yang pinjam majalah,” tegasnya.
“Jadi, saya berpikir sebenarnya anak-anak kampung sekalipun banyak yang suka membaca asal ada bukunya. Sehingga sampai saat ini saya tidak setuju kalau minat baca masyarakat Indonesia itu rendah. Sekarang bahkan tidak mengenal usia yang datang ke perpustakaan saya, karena apapun yang mereka cari itu ada semuanya. Misalnya ibu-ibu ada buku masak, kalau ada anak yang suka bola saya berikan majalah bola, anak SMA juga saya kasih buku pelajaran buat ujian nasional” tambahnya.
Eko juga mengungkapkan kenapa sampai saat ini ia bertahan di perpustakaan, hal ini karena dirinya melihat sendiri proses dari anak kampung yang awalnya tidak suka membaca, kemudian mau membaca, dan terjadi peningkatan pendidikan lalu meningkatkan perekonomian keluarga.
“Contoh ada anak remaja yang putus sekolah, tapi karena baca buku cara beternak lele, kemudian buat kolam lele dan berhasil. Ada ibu-ibu yang awalnya di PHL di pabrik, lalu baca buku masakan, lalu buka warung dan perekonomiannya tersangka. Ada anak SMK lulus sekolah gak dapat kerja, lalu baca buku tata rias, sekarang buka salon di rumahnya,” tandasnya.
“Dari situ hal-hal yang tidak terpikirkan bahwa dari buku bisa merubah nasib seseorang. Memang saya saya gak bisa menyebutkan ribuan, tapi setidaknya puluhan sampai ratusan anak dari yang awalnya lulusan SD, kemudian sering baca lalu ingin sekolah lagi, kemudian ikut kejar paket B-C, dan kemudian kuliah sampai akhirnya jadi guru,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa membaca itu efeknya tidak bisa instan, tapi efeknya baru 5-10 tahun kedepannya. Jadi, menurutnya salah kalau ada anggapan membaca biar langsung pinter, menurutnya membaca adalah investasi jangka panjang.
“Untuk perpustakaan ke depannya saya tidak ounya target apa-apa, yang terpenting saya dapat buku, perpustakaan buka, orang-orang dapat baca, selesai. Karena sejak dulu saya gak bayangin mau bangun gedung, ya saya jalani aja, jujur aja saya gak punya rencana apa-apa, kalaupun nanti buku dan rak semakin banyak lalu perlu perluasan ya saya jalani aja,” pungkasnya.