Oleh Muhammad Hilal
Tugujatim.id – De Oost atau The East, inilah cerita tentang kekejaman Westerling dari sudut pandang penyesalan. Cerita itu dituturkan oleh negara asalnya sendiri. Mengingat betapa lama sosok dan kekejaman Westerling dilindungi oleh negaranya, bisa ditebak bahwa munculnya film ini menimbulkan kehebohan.
Kesan penyesalan itu terlihat dari tokoh utama yang diceritakan dalam film ini. Si tokoh utama itu digambarkan sebagai orang yang selalu terlihat tegang saat menyaksikan sepak-terjang Westerling membantai para gerilyawan pejuang kemerdekaan di Sulawesi Selatan. Wajah tegang itu sangat kuat mengungkapkan gejolak dalam hati nuraninya. Bisa dikatakan, itulah perumpamaan hati nurani bangsa Belanda yang hendak disampaikan film ini.
Tokoh utama yang dimaksud adalah Johan de Vries, seorang pemuda Belanda yang pada tahun 1946 mendapat tugas militer di Semarang. Entah sosok nyata atau imajinatif belaka, Johan digambarkan memiliki latar belakang unik namun sangat relevan dengan pesan yang hendak disampaikan film ini.
Ayah Johan adalah seorang kolaborator Nazi dan petinggi sebuah partai yang mendukung partai fasis itu. Sejak kekalahan Jerman pada PD II, ayah Johan dipenjara. Sejak awal menjalani tugasnya di Jawa, Johan menyembunyikan identitasnya pada teman sekompinya, sebab hal itu adalah aib baginya. Latar belakang ini kelak menunjukkan ironi atas perilaku Belanda di tanah Hindia Timur.
Beberapa saat setelah kedatangan Johan dan rombongan serdadu baru ke Jawa, penonton sudah disuguhi alasan kedatangan kembali Belanda ke Jawa: mengembalikan ketertiban, membantu kemakmuran dan mengenyahkan penderitaan masyarakat, membasmi “para teroris” (kita menyebutnya gerilyawan kemerdekaan), dan menangkap pimpinan komprador Jepang (Soekarno).
Namun, semasa bertugas di sebuah barak di Semarang, para serdadu itu seperti mengejar hantu. Mereka hanya berpatroli dari satu desa ke desa lain tanpa mendapat satupun “teroris”. Hal itu membuat Johan de Vries bosan.
Singkat cerita, Johan kemudian berkenalan dengan Si Turki, seorang serdadu misterius kelahiran Turki tapi berwarga negara Belanda. Si Turki inilah inti cerita film ini. Dialah Raymond Westerling yang legendaris itu. Sosok ini digambarkan hidup ‘semaunya sendiri’ dan ‘tidak takut pada siapapun.’ Dia tidak tinggal di barak, melainkan di sebuah rumah di dekat baraknya Johan, dengan seorang perempuan pribumi. Namun tugasnya sebagai salah seorang serdadu Belanda tetap berjalan.
Suatu hari, terdapat seorang gerilyawan Indonesia tertangkap dan digelandang di barak itu. Dia diamuk para tentara Belanda di situ, namun diamankan oleh Kolonel setempat dan ditahan untuk diinterogasi. Bisa ditebak, orang yang menginterogasinya adalah Westerling.
Pada hari lainnya, seorang pribumi mendatangi Barak itu dan melaporkan adanya beberapa gerilyawan di rumahnya. Kolonel di barak itu tidak mau membantunya karena lokasi rumahnya terlalu jauh dan terlalu dekat dengan hutan sarang para gerilyawan republik. Johan membantu orang pribumi itu dengan mengajaknya ke rumah Westerling. Informasi dari si pribumi dijadikan dasar operasi penyergapan yang melibatkan hanya satu orang: Westerling, Johan de Vries dan Samuel.
Dalam operasi itu, Westerling digambarkan sebagai penyergap yang kejam tapi efektif. Dia tidak ragu-ragu menggorok gerilyawan dengan senyap. Akhir dari operasi itu berbuah penumpasan sejumlah gerilyawan republik dengan tanpa korban satupun di pihaknya.
Operasi malam itu membuat Johan makin akrab dengan Westerling. Saat Westerling dipromosikan untuk memimpin pasukan khusus, Korps Speciale Troepen (KST), dan merekrut beberapa anggota baru, dengan tanpa ragu Johan ikut serta ke dalamnya. Pasukan khusus ini ditugaskan untuk menumpas para gerilyawan republik di Sulawesi Selatan. Film ini menggambarkan bahwa pasukan khusus itu diberi kebebasan bertindak oleh pucuk pimpinan kerajaan Belanda untuk bertindak apapun, asal bisa mengembalikan “ketertiban” di Sulawesi.
Apa yang dimaksud kebebasan bertindak adalah taktik perang yang dikenal dengan “Metode Westerling.” Masa itu adalah masa kacau. Masa perang perebutan wilayah Hindia antara kaum nasionalis Indonesia dan Belanda. Para pejuang kemerdekaan mencegah kedatangan kembali Belanda ke Indonesia—termasuk di Sulawesi—dengan menerapkan taktik gerilya dan teror. Westerling beroperasi di Sulawesi dan menghadapi para gerilyawan itu dengan taktik teror pula. Kedua pihak sama-sama menerapkan taktik teror!
Hanya saja, film ini menggambarkan aksi teror yang dilakukan oleh pasukan Westerling. Hampir tidak ada gambaran tentang aksi teror oleh kaum gerilyawan (saya bilang hampir tidak ada ya, bukan tidak ada sama sekali). Dan di sinilah penonton akan menyaksikan aksi pembantaian oleh Westerling dan pasukannya itu.
Johan de Vries, yang jadi bagian dari operasi itu, kerap digelisahkan oleh keraguan dan tanda tanya. Benarkah langkah yang dilakukan oleh Westerling itu? Sekali waktu dia menghadap Westerling di meja kerjanya, berusaha mempertanyakan kebenaran operasinya itu. Westerling bergeming. Operasi itu benar karena dia mengatakan benar. Titik. Dan Johan tak bisa lagi membantah.
Operasi memburu gerilyawan dari satu kampung ke kampung lainnya terus berlanjut. Nyawa berjatuhan, anak-anak dan perempuan menangis tidak keruan. Keraguan di hati Johan semakin menjadi-jadi.
Di sinilah ironi yang disebutkan di atas akhirnya muncul. Pada Perang Dunia II, Belanda adalah korban dari kejahatan fasisme Nazi. Setiap orang Belanda yang jadi komprador Nazi akan dimusuhi sebagai penjahat. Namun di Hindia Timur, tidak lama setelah PD II berakhir, Belanda justru mengulangi kejahatan yang serupa dengan fasisme Nazi.
Di negerinya sendiri, Belanda ada korban kejahatan. Tidak lama setelah kejahatan itu teratasi, Belanda melakukan kejahan yang sama di Sulawesi. Bukankah itu ironis?
Ironi itu tergambar secara simbolis dalam diri Johan de Vries. Ayah Johan adalah komprador Nazi. Dia bertugas ke Hindia, salah satunya, bertujuan menebus dosa keluarganya dan membuktikan kesetiaannya pada kerajaan Belanda. Namun, siapa nanya, kesetiannya itu justru berujung pada pasukan khusus KST yang kekejamannya serupa dengan Nazi. Kenyataan itulah yang membuat hati nurani Johan jadi goncang.
Ironi semacam ini bisa pula kita lihat pada bangsa-bangsa lain, tidak terkecuali bangsa kita. Dengan sedikit baca sejarah kebangsaan Indonesia saja, ironi yang dirasakan Johan akan kita dapati dengan mudah.
Situasi goncang itu terus diderita Johan bahkan setelah keluar dari kesatuan KST. Sekembalinya ke Belanda, rasa bersalah dan penyesalan terus menghantui Johan hingga bertahun-tahun.
Inilah film fiksi berlatar sejarah. Kejadian historis yang diceritakan film ini bisa dilacak dalam buku-buku sejarah. Namun jangan sekali-kali mengharapkan akurasi historis dari film ini. Ini adalah film fiktif, bukan dokumenter.
*Dosen IAI Al-Qalam Malang sekaligus pengampu kajian filsafat di STF Al Farabi Malang