SURABAYA, Tugujatim.id – Mengenai pembahasan delisting fly ash and bottom ash (FABA) dari jenis limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) yang ditetapkan pemerintah melalui PP Nomor 22 Tahun 2021 beberapa waktu lalu, banyak yang menganalisis. Peraturan pemerintah itu merupakan turunan dari UU Omnibus Law yang sempat gempar ditolak pada akhir tahun lalu.
Termasuk sosok akademisi bernama Herdiansyah Hamzah, dosen Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Mulawarman dan anggota Aktif Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA). Herdi menyampaikan bahwa delisting FABA merupakan bentuk privilege yang diberikan pada industri ekstraktif.
“Delisting FABA batu bara dari limbah B3, semacam privilege (hak istimewa, red) yang dihadiahkan negara untuk industri ekstraktif. Serupa cerita bersambung Omnibus Law UU Cipta Kerja yang sebelumnya juga memberikan keistimewaan berupa pembebasan dari kewajiban royalti sampai 0 persen,” terang Herdi kepada Tugu Jatim Senin sore (15/03/2021).
Hal itu bermakna bahwa negara melalui pemerintah memang lebih memilih memanjakan para pemodal di industri ekstraktif yang notabene punya daya rusak yang sangat luar biasa dalam segi lingkungan hidup.
“Jadi, regulasi yang dibuat, mulai dari UU Cipta Kerja hingga PP Nomor 22 Tahun 2021, sejatinya memang dibuat untuk kepentingan para pemodal mempercepat eksploitasi sumber daya alam (SDA), bukan untuk kepentingan menjaga hak-hak dasar warga negara, khususnya berkenaan dengan lingkungan hidup,” lanjut Herdi.
Dia menegaskan, komposisi pengusaha di parlemen mencapai 45,5 persen atau 262 orang dari total 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Belum termasuk elite politik di lingkaran istana yang berada dalam pusaran bisnis batu bara. Jadi sulit dibantah, Herdi menjelaskan, kalau di balik kepentingan UU Cipta Kerja hingga aturan turunannya, termasuk PP Nomor 22 Tahun 2021 adalah para pebisnis tersebut.
“Intinya, keseluruhan regulasi ini menjadi pintu bagi para oligarki untuk mengonsolidasikan modalnya. Ini tentu situasi yang berbahaya, di mana perampokan SDA dilakukan secara legal melalui regulasi tersebut,” imbuhnya.
Ada banyak metode yang tersedia, Herdi menerangkan, mengenai aksi penolakan penetapan PP Nomor 22 Tahun 2021, mulai dari kampanye terbuka sebagai bentuk counter opini terhadap regulasi yang merugikan rakyat tersebut hingga opsi gugatan secara hukum.
“Semua opsi tersebut bisa dilakukan, tapi yang jauh lebih efektif tentu saja meluaskan kampanye dengan melibatkan sebanyak mungkin kelompok,” ujarnya.
Ada kebutuhan mendesak agar para akademisi bersenyawa dengan rakyat. Maka dari itu, gerakan penolakan tentu saja akan jauh lebih memiliki posisi tawar di mata rezim sebagai pengendali kebijakan. (Rangga Aji/ln)