KEDIRI, Tugujatim.id – Perubahan zaman terus bergerak. Mulai dari waktu, individu, dan dinamikanya. Mereka bergerak dengan simultan dan membawa semangat perjuangan masing-masing. Bila melihat 93 tahun silam, Kongres Sumpah Pemuda dimotori oleh semangat kemerdekaan. Tiga sumpah itu menyepakati bahasa, bangsa, dan tanah air Indonesia.
Sobat Tugu Jatim, kali ini ada cerita cerita kecil tentang pemuda di Kediri yang berani mengambil peran di tengah masyarakat untuk memberi inspirasi. Kami merekam bagaimana peran pemuda di Kediri yang mempunyai berbagai profesi dan aktivitas. Mulai dari dunia politik, budaya, wisata, ekonomi kreatif, literasi, hinggga kemanusiaan.
Tugu Jatim juga mewawancarai pandangan Sunarno, Dosen Psikologi Sosial IAIN Kediri tentang eksistensi anak muda di Kediri.
Tugu Jatim : Bagaimana anda melihat peringatan Sumpah Pemuda setiap tahun?
Sunarno : “Zaman terus bergerak. Saat ini, perubahan zaman begitu cepat dengan tehnologi. Kenyataan ini mempengaruhi eksistensi kaum muda. Dalam hal pekerjaan saja, para muda saat ini berada di kreatifitas tanpa batas. Banyak pekerjaan baru muncul di luar pekerjaan-pekerjaan konvensional masa lalu. Para pemuda di Kediri, saya melihatnya sudah menemukan kanal-kanal eksistensialnya sendiri. Mereka eksis dengan komunitas-komunitas yang sesuai minat dan bakat, sehingga menggelinding ke aktualisasi diri. Selanjutnya, tugas para pemuda adalah memaknai eksistensialnya masing-masing”.
Tugu Jatim : Soal eksistensi, apakah ada masalah dalam eksistensi anak muda?
Sunarno : “Hal lain, terkait eksistensi pemuda yang tidak kalah penting adalah menyoal kepribadian. Dan ini erat kaitannya dengan kebudayaan. Kepribadian yang berkebudayaan, atau dengan bahasa lain pribadi-pribadi yang berbudipekerti luhur, pribadi yang bermental positif–inilah penjaga gawang eksistensi kepemudaan. Saya membayangkan, apabila eksistensi pemuda tidak dibarengi dengan kepribadian yang berkebudayaan, sementara arus deras kebudayaan lain terbuka lebar yang siap bergesekan. Maka, pribadi-pribadi pemuda bisa saja akan kehilangan kebudayaan yang berpangkal kepada jati diri”.
Tugu Jatim : Lalu, kemana muara eksistensi pemuda yang tidak berkepribadian yang berkebudayaan?
Sunarno : “Muaranya adalah eksistensi pemuda yang kering, kehilangan makna, kehampaan. Mereka eksis dengan totalitas, mengada bersama komunitasnya, tetapi marasakan kekeringan spiritual. Padahal, spritualitas ada pada kebudayaan”.
Tugu Jatim : Bagaimana anda memaknai eksistensi pemuda di Kediri?
Sunarno : “Eksistensi pemuda di Kediri. Kalau saya maknai dari belajar kepada anak saya (Madjid Panjalu, 7 tahun). Suatu saat, dia bertanya apa itu Hari Sumpah Pemuda. Saya jawab, Hari Sumpah Pemuda itu hari bersatunya para pemuda se-Indonesia. Apa tanggapan dia? “Oh, berarti bhinneka tunggal ika”. Seorang anak berusia 7 tahun, memberikan simpul terkait Hari Sumpah Pemuda dengan bhinneka tunggal ika. Di zaman ini, eksistensi pemuda sangat beragam. Seolah mereka diberikan hak kemerdekaan dalam bereksistensi. Para pemuda, kini, memiliki kemerdekaan untuk beraktualisasi diri yang sesuai dengan minat, bakat, hobi, keahlian, dan lain-lain. Keberagaman eksistensial pemuda ini berada pada kebhinnekaan. Lalu, ika-nya apa? Keberagaman eksistensial tersebut hendaknya diikat dengan kebudayaan, budi pekerti luhur. Sehingga di Hari Sumpah Pemuda ini, kita bisa saja merumuskan sebuah sumpah bagi pemuda yaitu Eksistensi yang berkebudayaan”.
Inilah beberapa tokoh muda inspiratif di Kediri.
1. Abdul Hakim Bafagih
“Membagi Peran Antara Bola dan Politik”
Sosok pemuda yang satu ini sudah tidak asing lagi di level Kediri maupun di nasional. Dialah, Abdul Hakim Bafagih, Presiden Persik Kediri. Pria yang murah senyum ini mempunyai prinsip yang teguh untuk memimpin klub yang menjuarai dua kali Liga Indonesia.
Apalagi di usainya yang masih 29 tahun, Mas Hakim, tak hanya menjadi seorang Presiden Persik Kediri, tapi ia juga merupakan Anggota DPR RI dari Fraksi PAN bahkan juga menjabat sebagai Ketua DPD PAN Kabupaten Nganjuk.
Ia mempunyai pandangan untuk anak muda milenial sekarang jangan baperan, jangan mudah sambat, dan terus mencoba berkarya. Menurutnya, 3 prinsip ini yang membawanya menjadi petualang dunia politik dan sepak bola Indonesia. Ia belajar memisahkan antara urusan politik dan sepak bola.
“Ini hanya soal profesionalitas dan proporsional seseorang dalam membagi perannya,” imbuhnya.
Hakim menerangkan pasti ada suka duka dalam memimpin berbagai komunitas.
“Yang penting terus belajar menempatkan diri dan mau mendengarkan pendapat orang lain, jadi dengan yang lebih tua tetap hormat dan membuktikan dengan tindakan kita,” kata Hakim.
Dalam momentum Sumpah Pemuda, Hakim berharap ingin para anak muda di Kediri terus kreatif dalam bidang apapun. Sehingga, pemuda di Kediri dapat menginvestasikan ide dan aksi nyata untuk memajukan Kediri. “Terus belajar dan kolaborasi,” ungkapnya.
2. Neno Nestira
“Yang Muda, Yang Berdinamika”
Perempuan 28 tahun ini sedang duduk menjadi legislator dari PDIP di DPRD Kabupaten Kediri. Selama dua tahun menduduki kursi dewan, ia menyatakan ada tantangan yang dapat melatih kepekaannya dalam menghadapi keragaman masyarakat Kabupaten Kediri.
Menghadapi berbagai keluhan masyarakat, kata Neno, membuat hatinya terketuk untuk berpartisipasi aktif dan menyuarakan kepada eksekutif tentang apa yang diharapkan masyarakat.
“Semangat muda saya dapat berkontribusi lebih dan berpartisipasi aktif untuk mensejahterakan masyarakat,” tutur Neno.
Terkait dunia politik, Neno bahkan menyadari bahwa adanya dinamika merupakan keniscayaan yang harus dihadapi. Secara filosofi politik, Neno menerangkan bahwa setiap tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu yang membutuhkan bantuan orang lain dalam mewujudkannya.
“Sehingga setiap kita sebenarnya sedang berpolitik, hanya saja tidak semua anak muda paham dengan filosofi ini, dan menganggap politik hanya sebuah ajang eksistensi perebuatan kekuasaan semata,” jelas Neno.
Ia berharap generasi muda berani tampil dalam berpolitik agar aspirasi dari generasi muda juga dapat terwakili disetiap tingkatan baik di daerah, provinsi maupun di pusat.
3. Didin Saputro
“Terapkan Pengalaman Jurnalistik, Kembangkan Potensi Wisata Desa di Kediri”
Tiga tahun menjadi jurnalis, membuat Didin Saputro berkeinginan terjun langsung untuk mengambil peran di kampungnya, Desa Keling, Kabupaten Kediri. Awalnya, Didin ikut serta dalam pengembangan pariwisata di Desa Keling pada 2019. Saat itu, ia menjadi anggota Karang Taruna Putra Kalingga Desa Keling. Menurutnya, sejumlah pemuda Desa Keling punya keinginan adanya destinasi wisata di Desa Keling. Keinginan ini didengar dan mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Desa Keling.
“Kami semakin semangat, potensi yang kami eksplorasi pertama kali adalah Sungai Kembangan. Sungai yang membelah Desa Keling itu dibersihkan untuk dijadikan spot atraksi wisata River Tubing.
Di awal pembukaan Rover Tubing pada 2019, kami mencoba ikut sejumlah perlombaan. Alhamdulillah di tahun tersebut Keling mendapat penghargaan Anugerah Desa Kabupaten Kediri 2019. Menjadi Nominator salah satu Desa dengan Pengelolaan Wisata terbaik di Kabupaten Kediri,” bebernya.
Kuncinya dalam pengembangan, lanjut Didin, yakni dengan intensif melakukan promosi lewat media sosial. Berbekal pengalaman jurnalistik dan fotografi, didin membuat foto, video, dan narasi yang menarik untuk membuat konten potensi Desa Keling. Ia menggunggahnya di instagram @halokeling dan @dewatakeling.
“Upaya kami untuk mengembangkan Keling sebagai desa wisata terus berlanjut. Salah satunya identifikasi potensi-potensi lain di Desa Keling. Kami satukan untuk menjadi paket wisata desa.
Pada 2020 selama pandemi. Upaya yg dilakukan adalah eksplorasi Goa Jegles. Mencari literatur sejarah terkait keberadaan Gua itu. Hingga dijadikan salah satu destinasi wisata seperti ini. salah satu atraksi wisata yang kedepan menjadi satu paket Desa Wisata Keling,” ungkap alumnus Universitas Brawijaya ini.
Bahkan, sejak kuliah, Didin sudah punya prinsip tidak ingin bekerja di luar daerah. Ia ingin ikut berperan di daerah sendiri. Hal terdekat yang paling bisa dilakukan ialah mengabdi di Desa Keling, maupun secara umum untuk Kabupaten Kediri.
Hal ini dipengaruhi karena ia pernah mendapat beasiswa Bidik Misi dari Kemendikbud selama kuliah dan menjadi alasan terkuat agar setelah lulus harus kembali ke daerah.
“Hal yang bisa saya lakukan adalah mengenalkan potensi di Kabupaten Kediri dan Desa Keling khususnya. Terus berupaya ikut serta menjadikan Keling sebagai Desa Wisata yg kedepan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi multisektor. Saat ini saya sebagai Sekretaris Pokdarwis Bhumi Kalingga Desa Keling,” pungkasnya.
4. Ruslan Hadi Susanto
“Perkenalkan Kekayaan Budaya Jawa dengan Instagram”
Akun instagram @budoyojawi mungkin telah banyak dikenal masyarakat. Akun tersebut bahkan telah mendapatkan 167K followers. Namun apa sebenarnya alasan Ruslan atau pria yang akrab disapa Mas Genol membuat akun tersebut?
Instagram menjadi satu-satunya media sosial yang digunakan juga mempunyai alasan tersendiri. Genol menilai platform ini paling banyak digemari oleh milenial. Awalnya, Genol mengaku prihatin terhadap perkembangan zaman yang semakin cenderung melupakan budaya sendiri, khususnya Jawa. Dalam refleksinya, Genol melihat kurangnya referensi budaya yang ada dalam media sosial untuk generasi muda untuk mengenal budaya sendiri.
“Hal ini yang membuat saya terdorong untuk membuat sebuah platfrom yang berisi budaya tetapi dengan visual yang lebih mudah di terima oleh generasi muda,” ungkap Genol.
Tak ada niatan sedikitpun untuk mematerialisasi akun ini. Ia berpandangan murni akun ini untuk memberikan edukasi kepada generasi muda.
Sejak awal berdiri tahun 2017 hingga tahun 2020 akun ini tidak ada penghasilan, karena memang platform instagram berbeda dengan youtube yang bisa di monetise. Jadi tidak ada penghasilan,” imbuhnya.
Namun, memasuki 2021 ia membuat terobosan lain yakni dengan membuat brand fashion distro sendiri. Sehingga, ada semangat kemandirian yang dibentuk dari sebuah akun instagram agar dapat mengenalkan budaya.
“Ikut memperkenalkan kesenian lokal dengan kaos yang bertema kan budaya untuk mengiimbangi perkembangan dunia fashion yang penuh dengan budaya asing,” terang Genol.
Ia berpandangan dengan membuat kampanye budaya ini untuk mengurangi potensi pengikisan kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia. Sehingga, peran pemuda sangat diperlukan untuk menghargai kekayaan budaya Indonesia.
5. Fitra Akbar Kurniawan
“Penjahit Muda Jujugan Pejabat, Kiai, Artis, dan Pemain Sepak Bola”
Kesan profesi penjahit yang hanya digeluti orang tua kini terbantah. Fitra Akbar Kurniawan ini tengah tenar namanya di Jawa Timur. Ia membalik anggapan bahwa penjahit atau jasa tailor itu hanya milik orang tua. Fitra yang masih muda ini justru mendapatkan porsi di kalangan kiai dan kepala daerah.
Singgah di Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, Fitra memulai bisnisnya ini dengan memilenialkan jasa penjahit ini. Akun instagram @jastailorkediri miliknya itu menjadi salah satu pencapaianya beberapa jas dan seragam dipesan tokoh di Jawa Timur.
“Karena menurut saya pekerjaan menjahit masih kurang diminati oleh para generasi sekarang, dan itu juga yang membuat saya tergerak agar pekerjaan penjahit ini bisa lebih dihargai lagi dengan konsep yang lebih profesional dan lebih premium,” tegas Fitra.
Ia juga menerapkan branding ke arah digital entah itu dari media sosial. Menurutnya, bahwa konsep tentang iklan atau branding sekarang sudah banyak yang berubah. Dan kepekaan dengan zaman digitalisasi yang semakin maju ini merupakan kunci agar brandingnya dikenal publik.
Dua kepala daerah Kediri yang tergolong muda itu juga menjadi pelanggan setia Fitra. Yakni, Wali Kota Kediri, Abdullah Abu Bakar dan Bupati Kediri, Hanindhito Himawan Pramana. Bahkan, banyak pesanannya kini merambah kebanyak anggota DPRD di Kediri, Blitar, dan Jawa Timur.
Mulanya, Fitra menekuni bidang tailor ini sejak 2009, dengan terus belajar dan menekuni pekerjaan ini, ia mendapatkan kepercayaan dari berbagai tokoh bahwa Fitra dinilai cakap dan punya keahlian dalam menata estetika busana para tokoh tersebut.
“Alhamdulillah, dari beberapa tokoh agama kyai, gus hampir semua Kediri dan Jawa Timur dan jateng sudah memakai produk dari kami. Untuk artis dari mas Nur Bayan, Ndharboy Genk, Budi Sudarsono juga sudah memakai produk dari kami,” imbuhnya.
6. Urfi Zakiyatul Miskiyah
“Tetap Percaya Diri ke Pasar Tradisional dengan Shopping Bag”
Bermula dengan hobi melukis, Urfi Zakiyatul Miskiyah ini terus mengembangkan idenya. Tak hanya sekadar melukis di kertas maupun kanvas, kini ia merambah ke media kain. Berbekal kelindan informasi tentang sampah plastik yang terbuang sia-sia tanpa pengolahan, ia memutuskan untuk membuat tas belanja dengan motif yang segar. Seperti dengan gambar buah, sayur, serangga, dan alat dapur. Pemilihan gambar ini untuk membuat ketertarikan kaum hawa tidak malu dan tetap percaya diri ke pasar tradisional maupun modern untuk berbelanja menggunakan tas belanja dari kain.
“Awalnya di tahun 2017 memulai bikin workshop lukis karena memang passionnya di bidang itu. Terus mulai ngeluarin produk totebag lukis. Makin kesini ingin punya produk yang tetep ada unsur lukisnya tpi yang lebih punya value dan bisa digunakan semua orang. Soalnya kalau totebag kan biasa yg pake anak muda aja. Jadi mulai bikin shopping bag di thun 2020,” ungkap Urfi.
Tak hanya nilai kesadaran lingkungan tentang pengurangan plastik, Urfi juga melihat ada potensi bisnis. Bahkan, ia juga beberapa kali diundang untuk membagi pengalaman melukisnya di organisasi PKK dan kelompok UMKM Kota Kediri. Lagi-lagi, platform instagram @jarirenjana dan marketplace dipilih untuk memperluas jaringannya.
7. Guruh Febriandaru
“Sarjana Pertanian Tak Cuma ke Ladang, Juga Kembangkan Bisnis Gula Merah”
Pemuda asal Desa Sumberbendo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri ini memilih memulai bisnis kecil di kampungnya. Ada kegelisahan yang dirasakan setelah sejak kuliah. Yakni, masalah regenerasi petani yang masih sangat kurang. Padahal, di Desa Sumberbendo, mayoritas masyarakat ialah petani tetapi karena masalah regenerasi yang kurang, akhirnya tanahnya dijual atau dialihfungsikan. Ia melihat adanya kemungkinan persepsi orang tentang petani itu harus mencangkul dan berpanas-panasan. Selain itu, mindset orang tentang sarjana masih harus yang kerja dikantor.
“Padahal realitanya kerja di koorporasi pertanian gak ditempatin di kantor aja tapi lebih banyak ke lapangan juga. Akhirnya waktu semester akhir saya punya cita-cita setelah lulus untuk bertani dan membantu orangtua saya mengembangkan usaha tani ini agar bisa berkembang mengikuti perkembangan jaman. Dan saat ini saya aktif di desa sebagai wakil ketua karangtaruna dan juga tergabung dalam kelompok tani. Dan saat ini saya ikut sosialisasi tentang P2L (pekarangan pangan lestari) jadi bercocok tanam sayur mayur memanfaatkan lahan perkarangan yang tersedia,” terang Guruh.
Setiap hari, Guruh melakukan pemupukan di lahan tebu miliknya untuk menaburkan pupuk organik dari limbah bakaran ampas tebu. Tak begitu luas tanah garapannya, Guruh hanya merawat 0,5 Ha dari 9 Ha lahan yang dulu dikerjakan Rudianto, ayahnya.
“Setelah lulus ya saya langsung jadi petani,” ungkap Guruh. Tepatnya, kata Guruh, mengerjakan lahan secara utuh ini ia mulai 2019 silam. Lulusan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya ini bertekad melanjutkan kehidupan bertani seperti yang dijalani ayah dan kakeknya. “Ya seperti pandangan orang, setelah lulus kok malah bertani, lha bagi saya biasa saja wong dari kecil saya juga sudah tahu kegiatan bapak di rumah,” imbuh pemuda 24 tahun ini.
Dari lahan tersebut, ia bisa menghasilkan 56 ton tebu. Namun, ia tidak langsung menjual tebu tersebut. Hasil panen tebu itu diolah lagi menjadi gula merah. “Ini usaha dari bapak dulu, jadi tebunya saya olah lagi jadi gula merah sehingga nilai ekonomisnya meningkat,” kata Guruh.
Ia benar-benar terlihat sudah terbiasa dengan dunia pertanian, bukan hanya karena latar belakang pendidikan sarjananya, tapi Guruh sudah familiar dengan aktivitas pertanian tebu sejak ia kecil.
Sehingga, ia berniat untuk melanjutkan aktivitas bertani seperti yang dilakukan keluarganya. Menurutnya, meskipun pandemi, bisnis ini bisa bertahan dengan stabil. Permintaan gula merah ini akan dikirim ke Jawa Barat untuk dijadikan bahan baku kecap manis.
8. Zanuarifki Taufikurohman
“Dari Diskusi Terjun ke Pegiat Literasi”
Ia biasa dipanggil dengan Rifki. Aktivitasnya keseharian sebagai seorang pendidik dan pegiat literasi. Latar belakang saat mahasiswa, Rifki lebih sering aktif melakukan kegiatan diskusi ilmiah, pencinta buku, dan penyelenggaraan festival kebudayaan. Masih adanya ketimpangan pendidikan membuatnya tergerak untuk mengampanyekan “Hak Buku untuk Semua”. Menurutnya, dengan seperti ini pengentasan buta aksara dan imajinasi anak akan terus berkembang.
“Memiliki kepedulian terhadap pengentasan buta aksara serta ingin memberikan akses bacaan terhadap siapapun untuk memberikan pemahaman bahwa pendidikan hak bagi semuanya. Hak buku untuk semua. Sebagai pembelajar sepanjang hayat,” ungkap Rifki.
Sejak 2011, ia aktif dalam komunitas Forum Budaya Pendapa Kabupaten Kediri, RUPAKATADATA, Bangsal Je, dan Forum Taman Bacaan Masyarakat Kabupaten Kediri. Sudah mengikuti dan menggelar festival kebudaayaan ditataran nasional dan internasional. Mendampingi seni tradisi pertunjukan Ketoprak Tobong Suryo Budoyo. Saat ini menjadi pegiat literasi bersama Forum Taman Bacaan Masyarakat Kabupaten Kediri menggarap gerakan literasi masyarakat dan membangun ekosistem kebudayaan bersama komunitas-komunitas di Kabupaten Kediri.
Dengan modal tersebut, ia kini sedang menggagas festival bersama dengan yang mengawinkan antara buku, film, teater, dan musik pada November 2021 mendatang.
9. Nesti C. Nagari
“Mewariskan Budaya Mendongeng untuk Anak-anak”
Berkeliling dari taman ke taman mungkin sudah berkali-kali ia lakukan. Seorang pendongeng muda ingin pun juga mendirikan sebuah Taman Baca Masyarakat (TBM) Halaman Baca di Jombangan, Kecamatan Pare. Ia memulainya dengan bergabung di Komunitas Gerakan Mendongeng Indonesia (2016), dan menjadi ketua komunitas ini tahun 2017-2018. Pengalamannya dimulai dengan dongeng ketika berkeliling Malang. Di taman-taman Kota Malang, di sekolah-sekolah, kolaborasi dengan berbagai komunitas dan institusi. Setelah menyelsaikan kuliahnya, ia pulang ke Kediri dan aktif di literasi Kediri sejak tahun 2018 sampai sekarang.
“Dongeng menjadi semacam kegiatan rutin Halaman Baca dan kolaborasi dengan komunitas lain. Contohnya penampilan drama di Bulan Bahasa 2019, pelatihan mendongeng GPAN Regional Kediri, diskusi dongeng Bulan Bahasa Pare 2020, kolaborasi penampilan serial Dongeng Kak Tani dengan komunitas Lare Pare Berkebun 2021,” terang Nesti.
Nesti menuturkan fokusnya sekarang ialah memunculkan kader-kader pendongeng pada komunitas-komunitas di Pare dan Kediri dalam bentuk pembuatan serial cerita Dongeng Kak Tani. Ada beberapa judul dongeng yang telah dibuatnya dalam kegiatan Dongen Kak Tani. Yakni, Ada Siapa Saja di Kebun?, Dongeng Monster Gersang, Dongeng Kak Tani dan Alien. Bahkan, Nesti juga mengadakan teatrikal dongeng bersama komunitas-komunitas di Pare, mengisi pelatihan dongeng di beberapa komunitas di Kediri.
Menurutnya, dongeng adalah salah satu media terbaik untuk melakukan transfer nilai-nilai kebaikan pada anak-anak tanpa menggurui.
“Semua orang bisa mendongeng. Because everyone is a storyteller,” pungkasnya.
10. M Fikri Zulfikar
“Dari Fiksi Hingga Jurnalis Satrawi dan Penerbit Buku Indie”
Hobi menulisnya telah terpupuk sejak sekolah. Tak hanya memutuskan menjadi seorang penulis, tapi Fikri Zulfikar juga memutuskan untuk menjadi owner penerbit buku indie di Kediri.
Mulanya, kegemarannya menulis berawal dari mendengarkan cerita dari sang ayah. Khususnya, cerita sejarah tentang Kediri. Termasuk peristiwa 1965 di Indonesia. Fikri pun menelusurinya di Kediri.
“Menuangkan kesenangan menulis fiksi dan dan sejarah. Karena sejak sekolah MAN terutama sejarah sudah suka kisah sejarah. terutama sejarah Kediri. Awalnya bapak senang sekali cerita-cerita tentang Kediri di masa mudanya, seperti saat terjadinya Peristiwa 65 hingga banyaknya ulama di kediri yang merupakan prajurit Diponegoro. dari kisah bapak itulah saat menjadi wartawan dicoba untuk diulik fakta sejarahnya. Ternyata semua terbukti ada peristiwanya, sehingga dari situlah menulis sejarah Kediri mulai menjadi hobi,” ungkap pemuda asal Badas, Kediri.
Ternyata, Fikri tak main-main untuk mengulas Kediri. Selain mendalami keilmuan Pendidikan dan Sastra Indonesia, Fikri pun sempat merasakan 5 tahun menjadi jurnalis. Menurutnya,saat menjadi seorang jurnalis, ia berlatih menulis dengan berbagai peristiwa. Bahkan, ia juga mencoba mengoversi cerita itu dalam genre fiksi dan jurnalisme sastrawi.
“Semua pengalaman ini saya coba utak atik biar bermanfaat dan menemukan gaya tersendiri,” imbuhnya.
Kini, ia telah menerbitkan lima buku hasil karyanya. Di antaranya, Fantasi terbit tahun 2017,
Kisah Sawo Kecik: Jelajah Prajurit Diponegoro di Kediri” terbit tahun 2019,
Melankolism terbit tahun 2020, Formasi Sastrawi Covid-19: Konstruksi Pengetahuan Epidemiologis Sastra Indonesia terbit tahun 2021, Di Atas Langit Kota Api: Jejak Literasi, Pecinan, dan Masa Perjuangan Kediri” terbit tahun 2021.
11. Nanda Mei Sholihah
“Fisik Bukan Hambatan untuk Mengembangkan Bakat Olahraga Disabilitas”
Tak sekadar sering mendapatkan medali emas di level nasional maupun internasional, Nanda Mei Sholihah, juga menjadi Ketua National Paralympic Committee (NPC) Kota Kediri. Artinya tak hanya berprestasi namun ia juga ingin memperjuangkan nasib saudara yang disabilitas di Kediri untuk menggeluti dunia olahraga.
Perempuan 21 tahun ini berkeinginan agar teman-teman yang disabilitas tidak minder dengan kondisinya.
“Karena memang teman-teman disabilitas dapat mengembangkan bakatnya di NPC, jadi mereka yang bener-bener suka bisa masuk,” ungkap perempuan asal Kelurahan Dandangan ini.
Peraih 3 medali emas di Asean Paragames 2017 tersebut melakukan aktivitas yang produktif dan tetap eksis di tengah keterbatasan fisik. Ia sebenarnya sudah bergabung di NPC sejak 2010 silam. Dan mempunyai keinginan kuat dalam memperjuangkan aktualisasi diri teman-teman disabilitas dengan olahraga yang adaptif.
“Dengan berkembangnya zaman, anak muda yang berminat di dunia olahraga, khususnya olahraga disabilitas bisa mengembangkan kreatifitasnya untuk olahraga adaptif. Bahkan, membuat program baru agar teman-teman disabilitas bisa lebih mengembangkan dirinya,” terangnya.
12. Jaenal Arifin
“Evakuasi Korban Jadi Refleksi Diri tentang Keluarga”
Berbagai kejadian bencana alam yang ada di Indonesia tak lepas dari penangangan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Instansi yang bertugas menjadi motor dalam evakuasi berbagai kejadian di daerah.
Kisah tentang pemuda terakhir mengenai pengalamannya ketika menjadi unit reaksi cepat (URC) BPBD Kota Kediri. Masih berusia 26 tahun, Jaenal Arifin, mengabdikan diri untuk menjadi garda terdepan dalam urusan kebencanaan.
“Ya memang waktu itu, ketika operasi di Nganjuk memang mengandalkan escavator, escavator pun sembat menyangkut kaki jenazah hingga kakinya lepas, setelah melakukan penggalian lagi di temukan ibu posisi tengkurap sedang merangkul anaknya,” ungkap pemuda asal Bandar Lor, Kota Kediri.
Dalam kondisi ini, ia tak mudah menyerah dan jatuh dalam melihat realita paling mengerikan dalam hidupnya. Dua jenazah yang dievakuasi dalam kondisi yang sangat mengenaskan karena tertimbun material longsor.
Sebagai manusia biasa, kata Jaenal, ia juga menangis dan teringat keluarganya di rumah. Namun, tugasnya sebagai tim SAR merupakan panggilan hati. Menurutnya, ada hal yang membuatnya tetap bertahan untuk mengambil peran tersebut, yakni harapan baik setelah membantu banyak warga yang terkena musibah seperti ini.