MALANG, Tugujatim.id – Fajrus Shidiq selaku General Manager (GM) Tugu Malang ID yang merupakan bagian dari Tugu Media Group menyampaikan bahwa tugas wartawan yaitu penyampai pesan, risalah, seperti tugas mulia yang dijalankan oleh nabi atau rasul. Fajrus melanjutkan, kutipan tersebut diperolehnya dari sosok Emha Ainun Nadjib.
“Mengenai wartawan boleh salah, tapi tidak boleh bohong. Sama seperti yang disampaikan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib, red), beliau mengatakan wartawan seperti nabi atau rasul. Karena sama-sama penyampai informasi hingga disebarkan ke masyarakat. Ada proses ‘risalah’ atau penyampai pesan,” terang Fajrus dalam agenda “Goes to Campus: Pelatihan Jurnalistik dan Fotografi” pada Senin siang (22/02/2021).
Agenda “Goes to Campus: Pelatihan Jurnalistik dan Fotografi” yang diadakan Tugu Malang yang merupakan bagian dari Tugu Media Group. Selain itu, bekerja sama dengan PT Paragon Technology and Innovation yang merupakan perusahaan market kosmetik terbesar di Indonesia. Dan peserta agenda ini meliputi 6 sekolah menengah atas (SMA) dan 6 perguruan tinggi di wilayah Jawa Timur (Jatim).
Di sisi lain, dia juga menerangkan bahwa wartawan perlu mengetahui lebih dahulu mengenai informasi tertentu, kemudian baru dapat dirangkai menjadi berita. Namun tentu saja, Fajrus melanjutkan, dalam menjalankan proses itu wartawan perlu mempunyai pengetahuan yang mumpuni.
“Kita harus tahu lebih dulu soal informasi yang akan disampaikan, kemudian dirangkai dan jadi berita. Ada proses yang memerlukan pengetahuan sehingga menjadi berita yang diproduksi dan tersaji di masyarakat. Proses itulah yang penting dipelajari oleh teman-teman, siapa tahu ada yang punya cita-cita sebagai wartawan,” jelasnya.
Fajrus juga menyampaikan, sebelum mengenal lebih jauh soal kode etik jurnalistik, agaknya perlu memahami dulu soal penulisan berita. Karena antara kode etik dan penulisan berita saling berkaitan sehingga perlu membaca perihal teori jurnalistik juga.
“Sebelum melangkah ke kode etik, kita harus tahu dulu cara yang diterapkan untuk menulis berita. Apakah dari teori atau praktik, harus menghafal dulu teorinya mengenai jurnalistik. Bahkan, ada beberapa teman tanpa pengetahuan banyak dan lolos seleksi jadi wartawan dan turun ke lapangan,” tuturnya.
Selain itu, wartawan mempunyai semacam tingkatan profesi, tapi dalam upaya mempelajari kompetensi wartawan secara optimal, dapat dilakukan secara pararel saat menjalankan profesi itu. Fajrus menegaskan, melalui sebuah kutipan “belajar sembari menjalankan”.
“Tentu keduanya sah-sah saja, tentu ada tingkatan jurnalistik atau wartawan sebagai profesi dan jati diri. Saya akan kupas dari kode etik tadi, kalau langsung praktik di lapangan. Itu tidak masalah karena ada istilah ‘learning by doing’. Sampai kita bisa pelan-pelan belajar itu tadi,” cetusnya.
Wartawan harus jujur, Fajrus menerangkan, bahwa tatkala mengambil data harus tepat dan menyampaikan berita yang valid. Itulah yang dimaksud “jujur”. Fajrus menjelaskan, apabila berbagai kesalahan dalam menjalankan kegiatan jurnalistik perlu dihindari. Apabila wartawan sudah amanah, masyarakat akan membaca berita selalu akurat dan bagus.
“Wartawan yang jeli akan menemukan angle-angle dan tahu pola-pola apa yang dikerjakan dari rencana yang akan dikerjakan. Selain itu, beritanya juga perlu yang informatif, mengandung unsur jurnalistik seperti yang dijelaskan CEO Tugu Media Group Irham Thoriq tadi (dalam materi ‘Pengenalan Jurnalistik dan Penggalian Data’, red),” ucapnya.
Mengenai kode etik jurnalistik, Fajrus memulai dengan mempertanyakan soal apa itu kode etik jurnalistik. Semua profesi mempunyai kode etik. Dan kode etik itu sendiri merupakan sikap yang harus dijalankan wartawan saat bertugas di lapangan.
“Apa kode etik jurnalistik itu? Setiap profesi ada etikanya masing-masing. Pelawak misalnya, ada asosiasi dan mempunyai etika dalam melawak. Tidak hanya jurnalistik, tapi saya kira semua profesi mempunyai etika yang perlu dijalankan. Kalau tidak menjalankan etika, akan berdampak pada masyarakat,” lanjutnya.
Fajrus menerangkan, selain berpegang dalam UU Pers 40 Tahun 1999, ada juga kode etik yang perlu dijalankan oleh wartawan. Pertama, soal periode tanpa kode etik jurnalistik ketika UU Pers No 40 Tahun 1999 belum lahir.
Di sisi lain, ada juga periode dengan kode etik jurnalistik. Kemudian merumuskan soal kode etik, tapi terus dikaji memang dianggap perlu disempurnakan terus. Ada beberapa organisasi atau komunitas pada waktu itu, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan lain-lain, salah satu tokohnya Mochtar Lubis.
“Berkembang terus hingga kode etik jurnalistik PWI tahap dua, sampai hari ini banyak kode etik jurnalistik. Landasannya satu, etika wartawan atau jurnalis. Tujuannya untuk menjamin kemerdekaan pers dan memperjuangkan kebenaran,” ujarnya.
Wartawan setidaknya perlu landasan dan pedoman dalam menjalankan tugasnya atas dasar profesionalisme sehingga perlu menaati kode etik jurnalistik yang sudah disepakati. Fajrus juga menjelaskan soal embargo saat wawancara, “off the record“, “on the record“, mengenai amplop yang diberi narasumber, soal hak jawab, dan hak koreksi.
Sebagai informasi, dalam agenda “Goes to Campus: Pelatihan Jurnalistik dan Fotografi” menghadirkan narasumber-narasumber yang kompeten, pengalaman di dunia media tidak diragukan lagi, dan terjun dalam dunia jurnalistik profesional yaitu Tugu Malang (Tugu Media Group). (Rangga Aji/ln)