SURABAYA, Tugujatim.id – Sebagai mahasiswa dengan jurusan Desain Komunikasi Visual DKV Universitas Pembangunan Nasional (DKV UPN) Veteran Jawa Timur, Sidrathul Bintang Isnawan Sujianto paham memanfaatkan hasil perkebunan di kampungnya menjadi bisnis yang menguntungkan. Bagaimana proses mahasiswa DKV UPN Veteran Jatim ini menghasilkan produk unggulan?
Ya, Sidrathul Bintang Isnawan Sujianto, mahasiswa DKV UPN Veteran Jatim, ini hidup di daerah dengan kondisi geografis perkebunan yang melimpah, menjadikannya sebagai pemuda yang menyukai dunia pertanian. Melalui tugas akhirnya, dia menampilkan karya video pengolahan biji cokelat untuk menjadi produk bernilai jual tinggi.
Kakao menjadi komoditas terbesar yang dihasilkan oleh para petani di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Maka tidak heran, kalau kota ini memiliki sematan sebagai Kota Kakao.
Bintang, sapaan akrabnya, mengungkapkan, luas lahan kakao di Kabupaten Kolaka sendiri yakni 28.663 hektare dengan produktivitas 8.022 ton per tahun. Sayangnya, identifikasi yang diungkapkan Bintang menunjukkan kurangnya pemahaman masyarakat setempat dalam pengolahan kakao untuk dijadikan produk yang lebih menjual.
Dia mengatakan, masyarakat Kolaka lebih banyak menjual produk mentah untuk dijual di pasar atau diekspor ke luar kota. Padahal, menurut dia, kondisi tersebut malah membuat nilai jual kakao tidak mengalami peningkatan.
“Saya melihat kurangnya minat masyarakat dalam mengolah hasil perkebunan. Misalnya, biji kakao di sini tuh biasanya dijual bentuk kering atau mentahan. Ini harganya Rp30 ribu per kilogram. Sementara kalau kita olah bubuk kakao bisa dijual dengan Rp100 ribu-Rp150 ribu per kilo. Jadi, keuntungannya bisa tiga kali lipat,” katanya pada Senin (15/05/2023).
Sebagai generasi Z, yang katanya banyak orang menyebutnya sebagai petani muda, keinginan Bintang untuk mengubah pola pikir masyarakat desanya dalam mengolah kakao semakin besar.
“Karena basic-nya juga petani, jadi saya ingin mengungkap sisi lain dari kehidupan petani. Apa yang menjadi potensi menjadi petani, kenapa orang harus bertani, apa keuntungannya bahkan untuk seorang anak desain grafis pun petani itu sebuah lahan bukan tanah tapi untuk mendapatkan peluang yang besar,” ungkapnya.
Belum lagi masalah cuaca yang tidak menentu, membuat potensi gagal panen semakin tinggi. Jadi, petani tidak punya cadangan penghasilan dalam mencukupi kebutuhan. Dari masalah tersebut, Bintang mencoba membuka peluang bagi masyarakat Kolaka untuk dapat membuka bisnis pengolahan kakao secara mandiri.
“Di sana UMKM itu jarang karena keterbatasan waktu dan sumber informasi. Selama ini alat-alat itu dari pemerintah, sementara masyarakat sendiri nggak punya kemampuan untuk menggunakan dan mengolahnya,” paparnya.
Baca Juga: Ragam Desain Produk Menarik ala Mahasiswa DKV UPNV Jatim, Pikat Pengunjung Mall Royal Plaza
Melalui penciptaan karyanya, pria ramah ini mulai mengubah produk yang selama ini terjual di Kolaka dengan kemasan lebih menarik dan modern.
“Saya bikinkan rebranding kemasannya yang sebelumnya cuma plastik bening, jadi doubt seperti ini,” ucap mahasiswa DKV UPN Veteran Jatim.
Dalam pengakuannya, keunggulan dari produk cokelat miliknya adalah orisinalitasnya. Saat ini, sebagian besar produk bubuk cokelat yang beredar di masyarakat hasil olahan perusahaan besar memiliki konsentrasi gula yang tinggi.
“Kebanyakan produk yang dijual di luar malah kebanyakan 40 persen cokelat, 60 persen gula. Sebaiknya 30 gula, 70 persen cokelat karena taste cokelat sendiri itu pahit, sama seperti kopi. Aromanya aja beda,” tambahnya.
Selain itu, dia juga menjajal olahan komoditas lain seperti cengkeh. Bukan rahasia umum kalau rempah-rempah satu ini sangat menjanjikan dalam dunia bisnis.
“Minyak cengkeh di sana dijual per liter bisa sampai Rp20 ribu-Rp40 ribu. Tapi kalau packaging kecil gini kemudian diberi label, harganya jauh lebih mahal karena yang kami berikan ke pembeli itu khas dari Kabupaten Kolaka,” tegasnya.
Bintang mengatakan, setelah melihat hasil karyanya, masyarakat di kampung menjadi lebih tertarik untuk mengolah produk cokelat sendiri. Jadi, dia menilai karyanya cukup membantu bagi keberlangsungan ekonomi masyarakat di Kabupaten Kolaka.
“Kalau respons dari masyarakat sana, mereka melihat saya seperti memodernisasi pengerjaan yang kuno. Bagaimana kita bisa mem-branding mereka yang dianggap sebagai pekerja biasa tapi karena orang lain tahu jadi bisa tertarik. Mereka merasa senang karena eksistensi jadi meningkatkan semangat kerja,” ujarnya.
Untuk saat ini, Bintang belum dapat memasarkan produknya secara massal. Dia lebih memilih akan memperkenalkan produknya ke masyarakat lokal terlebih dahulu sebagai output edukasi ke para petani Kakao.
“Pasarnya ke Kabupaten (Kolaka dulu). Karena ini produk khas Kolaka, bagaimana bisa memperkenalkan orang sana. Kalau mereka sudah punya trust sama kami sebagai produsen,” ujarnya.