BATU, Tugujatim.id – Pembentukan tim investigasi atas kasus SMA Selamat Pagi Indonesia masih menunggu keputusan dari Wali Kota Batu. Sebelumnya, dewan Kota Batu mengusulkan tim investigasi untuk mengurai dugaan kekerasan dan pelecehan seksual di SMA SPI.
Atas usulan tersebut, Pemkot Batu menyambut baik. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3A2P) Kota Batu, MD Forkan, berencana akan melaporkan hal ini ke Wali Kota Batu, Dewanti Rumpoko.
Forkan menilai bahwa tim investigasi akan mempermudah menyelaraskan kerja berbagai instansi, lembaga, dan elemen masyarakat dalam mengawal perlindungan terhadap anak di Kota Batu.
Dia meyakini bahwa tim investigasi ini bisa lebih independen dalam menangani sekolah yang eksklusif seperti SMA SPI yang dinaungi provinsi Jatim tetapi berada di Kota Batu.
“Bagaimanapun, perlindungan anak adalah yang utama. Harapannya nanti penyelesaian terhadap permasalahan perlindungan anak pada umumnya bisa lebih sinergis,” terang dia saat dihubungi, Rabu (24/11/2021).
Selain itu, imbuh Forkan, perlu pembaruan Perda No 2 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Pasalnya, perlindungan anak seharusnya tidak menjadi urusan satu lembaga instansi saja. Misalnya, dalam hal ini SMA SPI naungannya ada di bawah Dinas Pendidikan Provinsi Jatim. Namun, lokasinya ada di Kota Batu.
”Nah, sebagai yang punya wewenang di wilayah ini kan tidak mungkin tinggal diam. Sementara secara regulasi kami tidak bisa mengakses,” paparnya.
Dia berharap pembentukan tim investigasi ini bisa segera terwujud. Kepastian ini tinggal menunggu restu Wali Kota Batu, Dewanti Rumpoko.
”Kita tunggu saja hasil pertemuan dengan Ibu Wali,” ujarnya.
Hingga saat ini, pihak Sekolah SPI Kota Batu belum pernah memberikan keterangan secara gamblang perihal kasus-kasus yang sudah mencuat ke publik. Upaya awak media selama ini untuk mengonfirmasi perkara ini kerap tidak mendapatkan respon.
Sementara, kejelasan tabir perkara demi perkara yang menyandung sekolah ternama ini tidak mudah diurai. Sejumlah pihak mulai Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Batu dan DPRD Kota Batu hanya bisa geleng-geleng kepala karena terkendala regulasi.
Sebelumnya, pemilik SMA SPI, JEP, dilaporkan atas dugaan praktik pelecehan seksual. Kasusnya saat ini masih mandek di tangan Polda Jatim. Terbaru, pengelola asrama, Akhmad Akhiyat dipolisikan atas dugaan tindak kekerasan fisik terhadap murid-murid di sana yang rata-rata adalah yatim piatu.
Ketua LPA Kota Batu, Fuad Dwiyono, mendesak agar seluruh pihak, terutama Dinas Pendidikan Provinsi Jatim untuk bergerak mengawal kasus ini. Apalagi menyangkut hak-hak anak yatim di sana. Sampai hari ini, aku Fuad, dirinya tidak melihat keterlibatan mereka sama sekali.
”Itu kan kewajiban mereka, karena SPI ada di bawah naungan mereka. Terus terang ini bukan sekolah, itu hanya kamuflase, sebagai tameng untuk melindungi kebutuhan pribadi atau kelompok,” jelas Fuad, usai hearing dengan DPRD Kota Batu, Selasa (23/11/2021) kemarin.
Terbaru, laporan terkait dugaan tindak kekerasan yang dilakukan pengelola asrama sepekan lalu kini masih di tahap pemanggilan saksi korban dari pihak SPI. Senin (22/11/2021), kata Fuad, Polres Batu memanggil 2 saksi korban dengan didampingi kuasa hukum SMA SPI.
Desakan serupa juga datang dari Ketua Komisi A DPRD Kota Batu, Dewi Kartika, yang juga merasa janggal dengan SMA SPI yang tidak menerapkan asas keterbukaan data dan informasi publik.
Menurut Kartika, selalu ada cara dari pihak sekolah untuk menutup-nutupi sesuatu.
”Saya pernah kesana itu saja harus agak memaksa. Saat di dalam, semua seperti sudah ditata. Mulai siapa yang menemui kami, siapa anak-anak yang menyambut, sampai isi testimoni yang hampir seragam,” kisah Kartika.
”Hampir semua kompak bilang baik-baik saja, sangat bertolak belakang dengan apa yang kita dengar dari korban, baik korban baru maupun korban lama (alumni, red),” imbuhnya.
Tak sekedar itu, dirinya mendapati banyak laporan miring dari masyarakat umum terkait bagaimana anak-anak diperlakukan di sekolah itu. Dari banyak laporan, dugaan eksploitasi ekonomi semakin menguat.
”Banyak anak-anak di sana disuruh jualan pernak-pernik kerajinan di Alun-Alun. Bahkan mereka agak sedikit memaksa untuk dibeli artinya mereka kan ada target. Ada unsur dugaan eksploitasi di sana,” bebernya.
”Dari alumninya, banyak juga cerita kalau di sekolah itu lebih banyak kerjanya daripada belajar. Pakai seragam itu hanya pas ada tamu, ada kunjungan, kalau ada pemeriksaan,” tambah politisi PKB ini.
Dari semua itu Kartika berharap seluruh pihak bisa turun tangan menangani bersama perkara ini. Kata dia, harus ada penataan ulang sistem di sana, mulai dari rekrutmen hingga pembelajaran yang selama ini dikenal ekslusif.
”Sebenarnya ya bisa ditutup kalau terbukti benar, tapi kan kasihan karena ada banyak anak yatim piatu juga butuh pendidikan seperti di sana. Perlu diperbaiki sistemnya saja,” ujarnya.