Tugujatim.id – Sistem peradilan pidana di Indonesia berlandaskan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selama ini, penegakan hukum dan pemidanaan lebih bersifat pembalasan kepada pelaku. Padahal, menurut Cragg, teori pembalasan kurang begitu efektif dalam menekan kejahatan dan tidak lagi mampu memberikan pemulihan pada korban tindakan kriminal.
Dalam situasi ini, keadilan restoratif (restorative justice) hadir sebagai paradigma baru yang berupaya mengubah cara pemidanaan dari pembalasan menuju pemulihan korban. Pranata ini, diperkenalkan oleh UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur diversi dan keadilan restoratif.
Hingga kini, keadilan restoratif telah banyak diterapkan. Selama periode 11 Juli 2020 hingga 1 Juni 2021, tercatat Jaksa Agung telah menghentikan 268 perkara dengan restorative justice.
Apa Itu Keadilan Restoratif?
Menurut Keputusan Dirjen Badilum MA RI Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan (Restorative Justice) menjelaskan bahwa keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
Penerapan keadilan restoratif mencakup tindak pidana ringan, perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum, perkara anak, dan perkara narkotika.
Keadilan restoratif diatur dalam beberapa regulasi, di antaranya: Peraturan Kapolri No 6/2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, Peraturan Kapolri No 08/2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Peraturan Kejaksaan RI No 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Syarat Keadilan Restoratif
Menurut Perja No 15/2020, syarat penghentian penuntutan dan penutupan perkara tindak pidana demi hukum berdasarkan keadilan restoratif, yaitu:
1. Tersangka bukan residivis.
2. Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari lima tahun, kecuali tindak pidana karena kelalaian.
3. Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp2.500.000,00, kecuali tindak pidana yang dilakukan terhadap orang, tubuh, nyawa dan kemerdekaan orang, serta karena kelalaian.
4. Telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan tersangka dengan cara; Mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban; Mengganti kerugian korban; Mengganti biaya yang ditimbulkan akibat tindak pidana, dan/atau; Memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana.
5. Telah ada kesepakatan perdamaian antara korban dan tersangka dan ada respon positif dari masyarakat.
Namun, perlu dicatat bahwa ada beberapa tindak pidana yang ‘tidak’ dapat dilakukan penghentian penuntutan dengan keadilan restoratif. Perkara ini meliputi: Tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat presiden dan wakil presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan; Tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal; Tindak pidana narkotika; Tindak pidana lingkungan hidup; dan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Berikut ini contoh penerapan keadilan restoratif di beberapa daerah.
1. Tiga perkara pidana pencurian kelapa sawit di Langkat, Sumatera Utara dihentikan. Detik.news.com melansir, pertimbangan Kejaksaan Negeri yaitu tersangka bukan residivis, jumlah kerugian akibat pencurian di bawah Rp 2,5 juta, dan adanya perdamaian antara tersangka dengan korban.
2. Kejaksaan Negeri Salatiga menghentikan penuntutan tersangka pencurian tiga dompet di warung kelontong. Kompas.com menyebut, pertimbangan Kajari Salatiga menyelesaikan perkara dengan keadilan restoratif yaitu pelaku bukan residivis, ancaman pidananya di bawah 5 tahun, nilai kerugiannya di bawah Rp 2,5 juta rupiah, dan telah ada perdamaian antara pelaku dengan korban.
3. Kejaksaan Negeri Tulang Bawang menghentikan penuntutan pelaku pencurian 1,5 karung getah karet beku milik PT Silva Inhutani Lampung. Regional kompas menyebut, Kejari mempertimbangkan nilai kerugian hanya sebesar Rp 500.000, pelaku bukan residivis, dan terjadi kesepakatan damai antara pelaku dengan korban, sehingga kasus tersebut dapat diselesaikan dengan konsep restorative justice.
Dengan adanya paradigma pemidanaan yang cukup baru ini, diharapkan dapat membawa kemajuan bagi sistem peradilan pidana di Indonesia. Tujuannya agar tercapai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan seluas-luasnya bagi masyarakat.