SURABAYA, Tugujatim.id – Tari Kolosal Dewa Ruci bertajuk Kisah Sang Bima Mencari Tirta Pawitra memeriahkan perayaan Hari Raya Nyepi sebelum pelepasan ogoh-ogoh di Pura Segara Kenjeran Surabaya, Jawa Timur, pada Selasa (21/3/2023) sore.
Tak seperti tahun sebelumnya, tak ada perayaan meriah, hanya ritual khusyuk secara intim di masing-masing rumah dan pura. Namun, pandemi Covid-19 mulai membaik, sehingga tahun ini umat Hindu di Surabaya dapat merayakan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1945 dengan penuh kebahagiaan.
Sebelum memulai pawai ogoh-ogoh, masyarakat sekitar Pura Segara Kenjeran dihibur dengan pertunjukan Tari Kolosal Dewa Ruci yang menceritakan tentang Ksatria Bima mencari Tirta Pawitra.
“Tarian kolosal adalah tarian yang melambangkan apa yang menjadi patung ogoh-ogoh yang kita taruh di balai kota, yaitu Bima mencari Tirta Pawitra,” kata ketua panitia kegiatan itu, I Made Jumanta Yoga, pada Selasa (21/3/2023) sore.
Menurut penjelasannya, kisah Bima mencari Tirta Pawitra tak lepas dari unsur ritual mendak tirta yang dilakukan sehari sebelum perayaan Nyepi tiba.
Kisah ini kemudian juga direpresentasikan ke salah satu ogoh-ogoh yang akan dilepas oleh Pura Segara Kenjeran Surabaya. Ogoh-ogoh tersebut merupakan tokoh Bima.
“Selama ini ogoh-ogoh selalu diidetikkan dengan sesuatu yang seram-seram, justru sekarang ini seharusnya tindihkan dengan tokoh-tokoh yang tidak seram. Seperti Bima yang selalu patuh dengan arahan gurunya,” jelas pria yang akrab disapa Mayo tersebut.
Dalam kepercayaan umat Hindu, tokoh Bima bukan hanya menjadi seorang Ksatria tangguh, tetapi juga Ksatria yang arif dan menghormati gurunya, Guru Drona.
“Di mana pun dia diperintah oleh gurunya, sampai harus menumpahkan jiwanya pun dia siap. Dia diberi amanah oleh gurunya untuk mencari Tirta Pawitra untuk membersihkan alam semesta ini sebelum kita melaksanakan catur tapa brata amerta,” bebernya.
Ogoh-ogoh tokoh Bima tersebut dirangkai sedemikian rupa. Berpadu dengan simbol khas Kota Surabaya, Ikan Sura, dan Buaya. Seperti kesatuan toleransi, menunjukkan bahwa agama juga menghormati budaya.
“Dia mencarinya di tengah laut dan bertarung dengan naga. Sedangkan kita beri simbol Sura dan Boyo karena kita melaksanakan di Surabaya, sehingga ada unsur budaya lokalnya,” pungkasnya.
Dari enam ogoh-ogoh yang diarak, hanya lima yang akan dibakar. Sebagai penghormatan kepada Bima, ogoh-ogoh Bima tidak ikut dibakar.