SURABAYA, Tugujatim.id – Persoalan dan silang-sengkarut mengenai polisi virtual yang baru sepekan lalu berjalan merupakan intervensi baru yang dikemas kepolisian dari Surat Edaran (SE) Nomor SE/2/11/2021. Surat terkait adanya polisi virtual diteken oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Tugas prototipe itu ialah mengingatkan warganet agar lebih berhati-hati berujar di media sosial (medsos).
Tapi, muncul dilema baru yang justru memuat pro-kontra mengenai pengadaan polisi virtual yang berpotensi mencederai hak asasi manusia (HAM) dalam aspek kebebasan berpendapat.
Koordinator KontraS Surabaya Rahmat Faisal menyampaikan, apabila polisi virtual tidak diberi pengawasan yang ideal dan masif, bakal berpotensi melanggar hak kebebasan berpendapat yang dimiliki masyarakat. Jadi, memunculkan keterbatasan, kekalutan, dan kecemasan dalam setiap ingin menuangkan pikiran di media sosial.
“Apa yang dilakukan polisi melalui pembentukan polisi virtual ini merupakan usaha untuk penyaringan konten yang jika tidak diawasi dan dikontrol, akan berpotensi melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat sipil,” terang Faisal pada pewarta Tugu Jatim, Senin sore (01/03/2021).
Selain itu, Faisal menyebut ada hal penting yang perlu diperhatikan, dipertimbangkan, dan dievaluasi ulang mengenai topik polisi virtual. Di antaranya:
1. Pemberian kewenangan yang luas kepada polisi untuk menafsirkan isi konten unggahan masyarakat.
2. Kewenangan yang luas itu, tidak diimbangi dengan mekanisme pembelaan bagi masyarakat terhadap pelarangan yang dilakukan oleh polisi virtual.
3. Kemampuan kepolisian bersifat netral dan tanggung jawab mengenai tugas-tugasnya.
4. Urgensitas. Ada permasalahan yang lebih penting untuk diatasi seperti “doxing”, pencurian data pribadi, “fraud”, dan lain-lain.
Faisal menegaskan bahwa pemberian kewenangan luas pada polisi dengan minimnya mekanisme kontrol akan berdampak pada tingginya potensi pelanggaran atas hak kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dimiliki rakyat. Dua hak paling fundamental.
“Karena hal-hal tersebut, maka sudah jelas bahwa pemberian kewenangan yang luas kepada polisi dengan minimnya mekanisme kontrol dan pembelaan, tentu berdampak pada tingginya potensi pelanggaran atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, dua hak asasi manusia yang paling fundamental,” ujarnya.
Untuk diketahui, adanya polisi virtual dapat menambah kekalutan, ketakutan, dan kegelisahan masyarakat untuk menuangkan pemikirannya di media sosial, satu-satunya media yang dimiliki masyarakat untuk menuangkan kegelisahan mengenai berbagai silang-sengkarut hidup. (Rangga Aji/ln)