SURABAYA, Tugujatim.id – Wacana revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan menuai kontroversi dari sejumlah pihak. Sorotan soal revisi PP 109 Tahun 2012 datang dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur dan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri).
Pembahasan penolakan terhadap wacana revisi PP 109 Tahun 2012 tersebut digelar Kadin Jatim di Kantor Kadin, Dukuh Pakis, Kota Surabaya, Rabu siang (22/02/2023). Sarasehan tersebut dihadiri langsung oleh Ketua DPD RI AA Lanyalla Mahmud Mattalitti dan melibatkan DPR, DPRD, disperindag, disbun, disnaker, hingga pengusaha tembakau, petani, serta akademisi.
Dalam diskusi tersebut, beberapa poin yang disorot yakni pembesaran gambar peringatan kesehatan pada bungkus rokok yang ditargetkan menjadi 90 persen luas kemasan, pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau di berbagai jenis media, serta penerapan kawasan tanpa rokok (KTR).
Ketua DPD RI AA Lanyalla Mahmud Mattalitti menuturkan, ada perbedaan data prevalensi konsumsi tembakau dari kalangan pemangku kepentingan seperti bidang kesehatan, bidang keuangan, dan bidang pertembakauan sehingga menimbulkan kerancuan.
“Saya berharap para pemangku kepentingan bisa menyatukan cara pandang dalam mengambil data sehingga informasi dan komunikasi yang disampaikan kepada pemerintah pusat bisa satu perspektif dan masukan yang disampaikan menjadi lebih konstruktif,” kata Lanyalla.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat prevalensi merokok di kalangan anak-anak berusia 18 tahun ke bawah dalam lima tahun terakhir mengalami penurunan yang konsisten, di mana pada 2018 ada 9,65 persen anak berusia 18 tahun ke bawah yang merokok. Sedangkan pada 2022, angka ini menurun menjadi 3,44 persen.
Untuk diketahui, tujuan dari wacana revisi PP 109 Tahun 2012 yakni untuk menekan jumlah perokok pada anak. Hal tersebut juga sejalan dengan amanah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024.
Merespons hal tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengatakan bahwa perbedaan antara data dan langkah pemerintah ini akibat dari adanya tekanan internasional terkait Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
“Ketika mengambil keputusan terkait industri hasil tembakau, hendaknya tidak dilihat terbatas pada satu aspek kesehatan saja, tapi juga aspek lainnya. Mulai dari penyerapan hasil pertanian tembakau, kelangsungan lapangan kerja, potensi produk ilegal, hingga potensi penerimaan negara,” tutur Misbakhun.
Karena itu, dia berharap agar pemerintah dapat bersikap objektif dan bijak terkait pengambilan kebijakan konsumsi tembakau. Sebab, tembakau merupakan salah satu kontributor besar kepada anggaran negara.
Selaras dengan Misbakhun, Ketua Kadin Jatim Andik Dwi Putranto juga menuturkan bahwa saat ini industri tembakau menjadi penguat ekonomi Indonesia.
“Dalam menghadapi kondisi ekonomi dan politik dunia yang tidak menentu, industri hasil tembakau sebagai industri resmi juga sepatutnya diperlakukan secara adil dan diberi perlindungan yang sama dengan industri lainnya,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan menganggap bahwa langkah pemerintah untuk revisi PP 109 Tahun 2012 tidak tepat. Menurut dia, aturan-aturan tersebut akan semakin resktriktif.
“Secara berkelanjutan, industri hasil tembakau ditempa oleh berbagai peraturan yang sangat menekan. Mulai dari pengenaan tarif cukai yang semakin tinggi, pembatasan promosi, penjualan, dan lain sebagainya,” tambahnya.
Menurut Henry, selama ini penerapan PP 109/2012 telah berjalan sebagaimana mestinya. Seharusnya, pemerintah perlu memberikan program edukasi dan pengawasan terhadap penggunaan tembakau yang tidak tepat sasaran.
“Dalam penerapannya selama ini, PP 109/2012 ini sebenarnya sudah ideal, mengatur dengan baik kegiatan pemasaran produk tembakau sebagaimana mestinya. Tapi, hal ini belum diikuti dengan kegiatan edukasi serta pengawasan yang tepat. Inilah yang semestinya yang didorong pemerintah,” ujarnya.