MYANMAR, Tugujatim.id – “Penumpasan dan penindasan terhadap pengunjuk rasa oleh polisi dan tentara terhadap pemrotes semakin brutal. Di Yangon dan Mandalay, mereka menembaki pengunjuk rasa yang menggelar aksi secara damai, tanpa kekerasan,” terang Khin Lay sosok Penggerak Aksi Antikudeta Militer Myanmar dikutip dari BBC News.
Ya, hingga kini Myanmar masih menjadi sorotan dunia. Berawal dari upaya mencurigai, memang hal yang lumrah dalam politik. Menjadi amat menyedihkan, bila kecurigaan politik itu berbuntut kerusuhan, korban luka dan melayangnya nyawa masyarakat sipil. Tidak ada satu pun negara di dunia yang membenarkan kekerasan, sama sekali.
Usai konflik Rohingya yang terjadi pada 2016-2017 mencuat, dikutip dari Tempo, dunia dan media massa telanjur memandang Myanmar sebagai negara yang “kejam”. Hal itu kini diulang dilansir dari Kompas TV, berawal dari perhitungan hasil suara pemilu 8 November 2020 yang dimenangkan kembali oleh Aung San Suu Kyi dari Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Oposisi dan militer pun geram.
Berita BBC News menuliskan bahwa kekacauan mencuat, oposisi dan militer tidak dapat menerima kekalahan secara lapang dada. Hasil pemilu itu dianggap “tidak sah” sembari mengeluarkan serangkaian tuduhan bahwa Suu Kyi melakukan kecurangan. Namun, Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat menolak dan membantah tudingan tak berdasar dari oposisi dan militer.
Dari laman Sindonews, adanya sengketa pemilu akhir tahun 2020 lalu, dipakai sebagai alasan, pembenaran dan motif untuk melakukan kudeta oleh junta militer, perebutan kekuasaan terjadi pada 1 Februari 2021. Tepat pada hari perdana sidang parlemen yang baru milik Suu Kyi. “Junta” ialah sebutan lain dari aktivitas diktator, kejam, dan keras yang dilakukan militer Myanmar.
Sementara itu, mengutip dari Tirto, sosok yang menang pemilu dan dikagumi masyarakat sipil mulai ditahan satu per satu, terutama Petinggi Partai Aung San Suu Kyi. Presiden Myanmar bernama Win Myint juga disekap aparat militer yang melakukan kudeta.
Sebetulnya, Suu Kyi sendiri sempat berada di posisi membingungkan. Dari catatan milik VOA, di sisi terang, Suu Kyi peraih hadiah Nobel Perdamaian, tapi sisi gelap pemerintahan Suu Kyi dan tatmadaw milik Jenderal Senior Min Aung Hlaing sempat membantai Rohingya.
Dari laman Liputan6, menyoal kasus kudeta militer Myanmar yang dipimpin Aung Hlaing, telah tercatat sebanyak 54 korban tewas dan 1.700 masyarakat sipil antikudeta militer ditangkap di bawah kekejian Aung Hlaing, termasuk 29 jurnalis.
Kabar terbaru dari Antara News, salah satu petinggi dari partai Suu Kyi tewas di tahanan diduga mengalami penyiksaan dari junta militer. Sementara unjuk rasa yang dijalankan masyarakat sipil masih berlangsung hingga sekarang. Melihat kekejaman junta militer, kerja sama pertahanan antara Australia terhadap Myanmar dihentikan. (Rangga Aji/ln)