Oleh: Irham Thoriq, CEO Tugu Media Group (tugumalang.id dan tugujatim.id).
Laurencia Ike Anggriani menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk Malang Plaza. Kini dia berusia 58 tahun. Sedangkan Ike bekerja di Malang Plaza sejak umur 19 tahun. Selama 25 tahun, dia menjadi direktur atau pimpinan di mal paling tua di Malang Raya tersebut.
Tapi, dia tetap energik. Penuh semangat untuk terus mengembangkan mal yang terkena disrupsi oleh banyak hal: toko online hingga ketatnya persaingan mal di Kota Malang.
”Saya kerja sebagai ibadah saja,” kata Ike saat ditemui beberapa waktu lalu.
Selain sebagai sebuah ibadah, juga sebagai pengabdian. Ike merasa berutang banyak pada pemilik Malang Plaza. Ketika dia tidak tahu apa-apa, sang pemiliklah yang mengajari Ike banyak hal.
”Mulai dari pengetahuan soal pajak, administrasi, dan lain-lainnya, semua kerjaan harus beres,” imbuhnya.
Karena pelajaran yang begitu besar inilah, Ike terus mengabdi. Meskipun usaha milik dia sendiri di luar sana sudah banyak dan besar. Dia menurut saja kepada keluarga pemilik yang tidak memperbolehkannya keluar dari mal tersebut.
”Padahal, anak saya sudah menyuruh saya pensiun, tapi tidak boleh. Ya, saya anggap hiburan saja ketika bekerja,” kata Ike sambil menunjuk anaknya Roy Saputro Yuwono yang ikut dalam pertemuan tersebut.
Roy adalah CEO dari Shelton Bisnis Indonesia (SBS Indonesia), perusahaan yang bergerak di bidang minuman herbal dan kesehatan. Salah satu produknya yang viral adalah Spartan-X, minuman berstamina untuk pria dan perempuan.
Selain soal pekerjaan, Ike tampaknya banyak belajar pada pemilik Malang Plaza soal kemanusiaan. Inilah yang dia pegang dan menjadi “ruh” dari Malang Plaza. Karena kemanusiaan inilah, nuansa kekeluargaan begitu kental di Malang Plaza.
Dari total 55 karyawan yang ada saat ini, sekitar 40 orang adalah karyawan yang bertahan sejak mal ini berdiri 36 tahun silam.
”Jadi, banyak yang dari bujang bekerja di sini, sampai sekarang punya cucu,” imbuh ibu dua anak ini.
Jika perusahaan lain banyak mempensiunkan dini karyawannya, mal ini justru terus mempekerjakan karyawan yang sudah tua-tua.
”Di sini tidak ada waktu pensiun, tapi ketika mau pensiun dipersilakan. Setiap bulan sudah kami sisihkan uang pensiun untuk mereka,” kata Ike.
Tapi, karena nyaman bekerja dengan sistem kekeluargaan, banyak yang tidak pensiun meski umurnya di atas 60 tahun.
”Kekeluargaan di sini sangat kental, tidak ada jarak antara pimpinan dan bawahan,” kata Maksum, salah satu karyawan senior di tempat ini.
Ketika kami berkunjung ke ruangan Ike beberapa waktu lalu, Maksum memang ikut bergabung. Saya melihat tidak ada jarak antara Maksum dengan Ike. Dengan tidak ada jarak itu, Maksum dengan santai menyampaikan pendapatnya tentang sejumlah acara yang akan digelar di mal tersebut. Karena sifat kekeluargaan yang kental inilah, Ike tidak kuat hati untuk memecat karyawannya karena pandemi Covid-19 ini.
”Kadang saya rogoh kocek sendiri kalau kurang buat operasional, kebetulan saya ada beberapa bisnis lain di luar sini,” katanya.
Saat saya tanya kenapa tidak memakai strategi sejumlah perusahaan yang selalu menyingkirkan orang-orang tua yang tidak lagi produktif, Ike menjawab enteng.
”Masak tega, kalau saya sangat tidak tega,” kata Ike.
Kekeluargaan dan kemanusiaan sudah mengantarkan Malang Plaza hingga berusia 36 tahun. Usia yang tak lagi muda serta penuh tantangan. Tapi, saya yakin, karena dasar kemanusiaan inilah, Malang Plaza akan tetap survive di tengah disrupsi yang menggempur.
Sebagaimana kata Simon Sinec dalam bukunya “Start With Why”, sejumlah brand besar selalu mempunyai jawaban atas pertanyaan “mengapa” soal produk mereka. Dan Malang Plaza, saya kira, sudah menjawab satu pertanyaan mengapa mereka harus ada, yakni kemanusiaan.