SURABAYA, Tugujatim.id – Akademisi politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya menyoroti kekhawatiran publik terhadap demokrasi di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) terkait lawan kotak kosong.
Sebagaimana diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Surabaya telah menetapkan calon tunggal pasangan Eri Cahyadi-Armuji sebagai calon wali kota dan wakil wali kota Surabaya pada Minggu (22/9/2024).
Artinya, sebagai calon tunggal Eri-Armuji akan dipastikan melawan kotak kosong di Pilkada 2024. Dosen Politik Universitas Airlangga Hari Fitrianto memberikan tanggapannya.
Munculnya kotak kosong di Pilkada 2024 menciptakan kekhawatiran publik akan kebebasan demokrasi. Menurut Hari, kotak kosong tidak menandakan akan adanya krisis demokrasi.
“Fenomena kotak kosong itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan krisis demokrasi. Melainkan, hanya soal pengaturan jadwal antara pemilu nasional dengan pilkada yang terlalu dekat,” katanya.
Hari menyinggung perihal prinsip timelu manner yang penting dilakukan oleh KPU sebagai pihak penyelenggara. Yang mana, pemilu wajib dirancang supaya masyarakat ikut berpartisipasi secara maksimal.
Sayangnya, pelaksanaan Pilkada 2024 kali ini belum diiringi dengan pertimbangan waktu yang cukup matang.
Sayangnya, menurut Hari, ambisi untuk melaksanakan pilkada serentak di tahun ini belum diiringi dengan pertimbangan waktu yang matang.
“Dengan menyerentakkan antara pemilu nasional dengan pilkada, partai politik dan calon-calon pemimpin di daerah tidak punya cukup waktu untuk melakukan konsolidasi,” ucapnya.
Lebih lanjut, Hari menuturkan jika kotak kosong akan mempengaruhi partisipsi masyarakat dalam memilih paslon. Terlebih, di masyarakat muncul asumsi calon tunggal dipastikan akan menang jika melawan kotak kosong.
“Hanya ada satu kandidat yang bekerja keras menghadirkan pemilih ke TPS. Sedangkan kotak kosong tidak ada tim sukses, sehingga membuat orang menjadi enggan atau malas datang ke TPS,” jelasnya.
Sebagaimana diketahui, bila kotak kosong menang di Pilkada, maka daerah tersebut akan dipimpin oleh Penjabat sementara yang ditunjuk pemerintah pusat.
Merepons hal tersebut, Hari menilai jika pemilihan tersebut justru menunjukkan tidak ada prinsip demokrasi karena tidak dipilih oleh rakyat.
“Pejabat tersebut bisa berasal dari berbagai kalangan yang tidak dipilih secara demokratis oleh rakyat. Termasuk birokrat, kementerian, atau bahkan kepolisian,” bebernya.
Dia berharap, pemerintah pusat dapat merevisi pembentukan undang-undang agar pilkada dan pemilu tidak dilaksanakan dalam waktu yang berdekatan.
“Pemilu nasional dan pemilu daerah sebaiknya tidak dilakukan bersamaan. Jika pemilu nasional, misalnya, dilakukan di tahun 2024, maka pemilu daerah idealnya dilaksanakan dua tahun setelahnya,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Tugujatim.id
Reporter: Izzatun Najibah
Editor: Darmadi Sasongko