MALANG, Tugujatim.id – Kebijakan pemerintah yang tidak lagi mengutamakan skripsi sebagai syarat kelulusan bagi jenjang S1 dan D4 baru-baru ini disampaikan Mendikbudristek Nadiem Makarim. Terkait kebijakan itu beberapa mahasiswa memberi tanggapan. Salah satunya Siti Annisa, mahasiswa Universitas Brawijaya Malang Jurusan Ilmu Komunikasi dan Ilmu Politik.
Menurut dia, mahasiswa yang pro dengan kebijakan pemerintah sering kali menganggap mengerjakan skripsi adalah hal yang menyulitkan. Sementara itu, mahasiswa yang kontra karena menganggap bahwa skripsi merupakan bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.
“Kalau misal kami nggak skripsi akan banyak poin yang tidak terpenuhi seperti poin penelitian dan pengembangan, kan sayang banget. Kami sudah kuliah empat tahun, tapi tidak menyelesaikan dari Tri Dharma Perguruan Tinggi,” katanya.
Bagi dia, mengerjakan skripsi masih merupakan hal realistis yang perlu dilakukan ke depannya. Mahasiswa Universitas Brawijaya angkatan 2021 itu akan tetap mengerjakan skripsi sebagai tugas akhir menyelesaikan kuliahnya. Dia juga belum tertarik mengerjakan tugas akhir dalam bentuk lain.
“Saya lebih baik mengerjakan skripsi karena saya juga senang menulis. Saya juga lebih tertarik membuat skripsi dibandingkan hal-hal lainnya,” katanya.
Nisa juga mencontohkan bahwa di jurusan tempatnya menimba ilmu itu kebijakan tersebut telah dilakukan seperti mahasiswa yang meraih prestasi dalam ajang Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) atau ajang mahasiswa lainnya.
“Kalau di jurusan hubungan internasional sudah diterapkan kebijakan tanpa skripsi itu, tapi memang ada syaratnya seperti publikasi jurnal sesuai dengan standar yang ditentukan,” ungkapnya.
Sementara itu, Rafly Rayhan Al Khajri, mahasiswa Universitas Brawijaya yang juga Presiden Eksekutif Mahasiswa itu setuju dengan kebijakan Menteri Nadiem Makarim. Bagi dia, kebijakan tanpa skripsi itu akan mampu menggali kreativitas serta kekritisan mahasiswa.
Mahasiswa angkatan 2019 itu berharap, penerapan dari kebijakan tersebut dapat dipikirkan secara matang dan tidak menimbulkan ketimpangan antar program studi.
“Biar nanti tidak menimbulkan ketimpangan di antara program studi (prodi) yang memungkinkan, probabilitas, menciptakan karya dengan prodi yang tidak memiliki probabilitas untuk menciptakan karya,” katanya.
Mahasiswa Fakultas Hukum UB itu juga merasa khawatir jika kebijakan Menteri Pendidikan RI itu tidak dipikirkan secara matang, maka akan menimbulkan ketidaksetaraan.
“Antara mereka yang menggunakan skripsi dengan tertulis, kemudian dengan mereka yang menggunakan karya atau proyek itu sehingga nanti pengakuannya dianggap setara,” katanya.
Writer: Yona Arianto
Editor: Dwi Lindawati