Oleh: Rino Hayyu Setyo, Kepala Biro Tugu Jatim ID di Kediri
KEDIRI, Tugujatim.id – Narasi pembangunan acap kali dibedakan dengan model top down dan bottom up. Dua konsep pembangunan yang dibelah dengan syarat partisipasi. Dalam proses pembangunan, kedua model tersebut tentu bisa dilakukan dengan beriringan. Ada yang dilakukan secara top down, ada juga yang dilakukan dengan bottom up. Destinasi kedua konsep ialah kesejahteraan dan terdistribusinya keadilan sosial.
Ibarat berwisata, perjalanan menuju destinasi yang mempunyai fasilitas “kesejahteraan” dan “keadilan sosial” itu dibutuhkan keselarasan atau harmonisasi antara pemerintah dengan masyarakat. Mungkin begitulah saya melihat paparan dari Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar ketika bercerita tentang Program Pemberdayaan Masyarakat (Prodamas). Program unggulan dari kampanye politik Mas Abu, sapaan akrabnya, sejak 2013 silam.
Saya memang pernah mempertanyakan Prodamas ketika masih di kampus. Sebab, cukup kuat ingatan saya tentang sebuah kajian teori-teori pembangunan dan perubahan sosial dari almarhum Sanapiah Faisal, ilmuwan sosial kenamaan Indonesia, 10 tahun silam.
Dalam konteks pertemuan dengan Mas Abu, dia menceritakan, Prodamas masuk terpilih Kemendikbud Ristek RI untuk mewadahi mahasiswa magang. Sebagai pemerintah daerah pertama yang terpilih Kemendikbud Ristek, saya tidak menyangka bila dalam 3 hari pendaftaran program magang untuk Prodamas Scale Up itu sudah mencapai 253 pendaftar. Padahal, kuota yang disediakan hanya untuk 50 mahasiswa. Mereka yang terpilih akan praktik melakukan pemberdayaan masyarakat di tengah kota urban.
Mas Abu mengajak mahasiswa untuk terjun langsung dalam sebuah pembangunan di Kota Kediri.
Hal inilah yang membawa memori saya berselancar pada kajian-kajian ilmu pendidikan masyarakat. Maka papan selancar memori saya, langsung menuju ke lautan tulisan Havelock (1973) dalam The Change Agent’s Guide to Innovation.
Di sinilah, dia membuat empat tahap peran agen perubahan sosial atau yang kini disebut agen pembaruan. Mungkin anak milenial yang masuk dalam kategori anak muda ini secara historis-empiris mempunyai hegemoni untuk melihat kondisi yang darurat seperti sekarang bisa memberikan pembaruan ide dan inovasi.
Pertama, peran sebagai katalisator (catalyst) dengan maksud untuk mempercepat proses sesuatu hal dalam menghadapi perubahan. Kedua, peran sebagai process helper, yakni agen diharapkan bisa membantu proses masyarakat memahami kondisi nyata. Ketiga, peran sebagai solution given. Seorang agen akan mampu memberikan solusi di tengah kemacet-ruwetan permasalahan. Setelah ketiga ini terpenuhi, maka peran terakhir agen pembaruan bisa menjadi penghubung sumber (resources linker). Setidaknya, berbekal kajian tersebut imajinasi mahasiswa yang terjun Magang Merdeka dalam Prodamas Scale Up akan mendapati empat peran itu dalam pemberdayaan masyarakat.
Dalam konteks musibah yang sedang dihadapi masyarakat mencegah penyebaran Covid-19 ini waktu yang tepat untuk menguji ulang seluruh dalil para ilmuwan tersebut. Khususnya mereka yang mempunyai tanggung jawab kesarjanaan dalam berbagai strata atau jenjang, maka banyak hal yang harus dituliskan untuk turut menyejarahkan kondisi ini. Para pemilik gelar apa pun bisa membuat sebuah inovasi yang didiskusikan sebagai tabungan ide dan tindakan memberikan solusi kepada masyarakat.
Jadi, tanggung jawab keilmuan dapat bertransformasi menjadi perubahan masyarakat dalam pembangunan. Karena kecenderungan mahasiswa yang semakin terbatas berkegiatan sangat berpotensi untuk merebahkan daya pikirnya.
Saya membayangkan dari proses magang ini akan banyak lahir calon peneliti muda dengan konsentrasi keilmuan tertentu untuk melakukan riset dan mengabadikan kondisi masyarakat sekarang. Semua gambaran ini bukan untuk disetujui, justru saya ingin menyampaikan ini agar membuka ruang dialektika atau diskusi agar kelompok masyarakat tetap bisa berkegiatan meski dengan kondisi terbatas. Jadi, wabah CoVid-19 tidak “mematikan” ide masyarakat, khususnya mereka yang mempunyai tugas kesarjanaan. Apalagi untuk para anak milenial yang hanya menganggap ini sebagai liburan seperti biasanya.
Bisa jadi, Mas Abu telah menerapkan apa yang digambarkan dalam paradigma adult learning style (gaya belajar orang dewasa) yang disebutkan Peter Jarvis (2003) dalam karyanya The Theory and Practice of Learning, masyarakat bisa mengembangkan dari adult education, recurrent education, hingga continuing education. Melihat Merdeka Belajar dengan paradigma tersebut akan bisa diterapkan untuk mengambil inisiatif agar tetap bertahan hidup dengan terus berinovasi.
Wadah Prodamas Scale Up tersebut bisa menjadi latihan mahasiswa dalam mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan masyarakat secara langsung. Memberikan wadah mahasiswa ikut serta aktif dalam pemberdayaan masyarakat disebut Mas Abu sebagai Living Laboratorium atau dalam istilah teoretis ilmu pendidikan biasa dikenal Problem Posing Curriculum.
Tentu ini masih dalam imajinasi penulis, tapi bagaimana nanti proses di lapangan dalam magang tersebut memerlukan monitoring dan evaluasi lebih lanjut. Jadi, sinergitas program antara Kemendikbud Ristek dan Pemkot Kediri bisa menjadi efektif untuk masyarakat. (*)