Oleh: Muhammad Asqalani eNeSTe
Markapenjong aku di parit kecil beraliran terang,
kumulai kegelapan takdir ikan dengan mengecoh mereka agar putus asa
dalam baldi hitam. aku riang, melupakan riwayat tubuhku
yang telanjang, pulang buru-buru ke palung kolam
Hiduplah ikan-ikanku yang nakal, jika kau besar doakan akalku
juga ikut membesar, agar kelak dapat kusiasati ibumu.
Markapenjong aku. memanjat jenjang yang sandar ke batang kelapa
besar kepalang, kusasar sarang burung kembar tanpa belas kasihan,
lima anak burung kukurung, di mana pintunya nganga jebakan.
“mampus kau, dapat kau” ibu burung kelimpungan.
Riwayat keluarga unggas berada di genggaman tanganku yang tangkas.
tak pernah terlintas di benakku
Bagaimana jika aku yang dipenjara sepanjang waktu,
bersama ibu dan adikku. Ke mana ayah akan menerbangkan
hidupnya yang tertebang?
Markapenjong aku. seribu upaya menguap di raksasa tubuh layang-layang.
empat meter tingginya. bukankah itu ciptaan yang akbar?
tanganku gemetar, kala layangku jadi layangan pemalas dan bodoh,
tak mampu ia cerap angin yang mesti membawanya bermimpi.
menggapai-gapai udara yang pundi.
Malam ini, tak ada yang lebih kulakoni selain melekuk puisi, kata-kata di tiap dekap di tiap bekap diksi. ingin kusampaikan pada imaji, yang menyediakan sampan ke langit tinggi
Bolehkah ikan terbangku memasukimu? Bolehkah burung-burung masalaluku
menyusui anaknya di lambungmu? Tak marahkah kau jika layang-layangku
memulai langkah benang dari kemudimu?
Tengah malam, aku menegah hati dalam-dalam.
“Akankah masa depanmu menjadi makam masa sekarang?”
Marpoyan Damai-Kubang Raya, 2015 – 2021
*Penulis adalah member Pondok Inspirasi. Dia menulis dan membaca puisi sejak 2006. Beberapa kali memenangkan lomba tingkat nasional dan lokal. Kini dia sedang menyiapkan buku puisinya yang kesebelas “Lapiddung”.